Sama-sama Gila
Oleh : Setiyono
(Political Analyst dan Aktivis
KAMMI)
Beberapa hari terakhir ini, masyarakat kita
tersajikan dengan berita yang sungguh memalukan. Yakni terkait perseteruan
Gamawan Fauzi (Mendagri) dan Ahok (Wakil Gubernur DKI. Jakarta), sumber
persoalannya adalah pergantian Lurah Lenteng Agung, Jakarta Selatan, Susan
Jasmine Zulkifli yang merupakan non muslim. Pergantian ini sontak memberikan
reaksi dahsyat kepada warga sekitar kelurahan itu. Karena menurut warga, bahwa
Susan ini tidak mewakili karakteristik mereka yang mayoritas muslim. Walaupun
secara lelang jabatan yang diterapkan oleh Pemprov DKI, Susan lolos dan
direkomendasikan menjadi lurah serta ditempatkan di Lenteng Agung.
Namun desakan dari warga terus bermunculan,
agar Susan ini dipindahkan dari Lenteng Agung. Sehingga kondisi ini menyita
perhatian publik termasuk juga dari kementrian dalam negeri. Hingga akhirnya
muncullah inisiatif dari Gamawan Fauzi untuk melakukan teguran. Dimana teguran
itu berisikan agar pemprov DKI yang dipimpin oleh Joko Widodo segera
mengevaluasi penempatan Lurah Susan di Lenteng Agung. Dengan kekhawatiran bila
penempatan itu tidak segera dievaluasi maka akan mempengaruhi kinerja Susan itu
sendiri, karena lemahnya dukungan dari warga sekitar.
Akan tetapi, teguran ini tidak serta merta
diterima begitu saja oleh Ahok yang merupakan wakil gubernur DKI. Karena
menurutnya, kebijakan pemprov DKI dalam menempatkan Susan untuk
menjadi lurah di Lenteng Agung tidak dapat begitu saja dicabut hanya karena
adanya penolakan dari sebagian warga. Bahkan dalam statmentnya Ahok sangat keras menohok
Gamawan Fauzi, “Menurut
saya, Mendagri perlu belajar tentang konstitusi. Ini negara Pancasila. Bukan
ditentukan oleh orang tolak, tidak tolak,” begitu ujarnya seperti yang dilansir
oleh banyak media. Dengan reaksi yang demikian, maka pihak kementrian dalam
negeri pun merasa tidak terima dan Staf
Ahli Mendagri Bidang Hukum, Politik, dan Hubungan Antarlembaga Kementerian
Dalam Negeri Reydonnyzar Moenek pun menegur Ahok dan dikatakan olehnya bahwa
pernyataan Ahok cenderung keluar dari konteks.
Siapa yang salah?
Bila kita mencari siapa yang
salah tentu akan kesulitan menentukan siapa yang salah, karena masing-masing
mereka pasti akan saling membela diri dengan kekuatan yang mereka miliki
tentunya (bargaining power). Namun
bila kita amati secara seksama, maka dapat kita tarik kesimpulan bahwa para
pejabat ini tidak bisa diteladani oleh masyarakat dan terlihat dengan jelas
mereka tidak memiliki sifat kepemimpinan walaupun memegang jabatan formal. Ahok
yang secara struktural bernegara merupakan bawahan Mendagri, namun tidak
memiliki etika dalam hidup bernegara, sehingga hal ini memberikan potret bahwa
seperti itulah Ahok akan bersikap kepada masyarakat, cenderung arogan dengan
kekuasaan yang dimilikinya. Demikian juga Gamawan Fauzi bila secara
strukturalnya merupakan atasan Ahok namun tidak mampu bersikap lebih bijak
terhadap bawahannya, cenderung emosional dan terkesan begitu cepat mengambil
kesimpulan terhadap berita yang beredar, sehingga terjadilah perseteruan yang
semakin ramai diperbincangkan di media massa. Itulah alasan mengapa judul
tulisan ini adalah “sama-sama gila”.
Pejabat yang memiliki sifat
kepemimpinan maka mereka akan mengabaikan perseteruan antar pejabat, karena
yang paling penting bagi mereka adalah bagaimana melakukan tindakan yang
benar-benar bermanfaat bagi masyarakat. Bukan sibuk mengurusi dan saling
“serang” terhadap pejabat lain, ataupun lawan-lawan politiknya.
Indonesia hari ini merindukan
pejabat yang memiliki sifat kepemimpinan itu. Mereka yang tetap bisa bermanfaat
bagi masyarakat walaupun nanti tidak lagi memegang jabatan formal. Sehingga
dengannya sejarah akan mencatatnya dengan banyak kebaikan. Sebagaimana kata
Arnold Toynbee, “Sejarah adalah jejak-jejak orang besar”. Sedangkan kata Peter
Drucker “Sepanjang sejarah peradaban manusia, tidak ada kedudukan yang lebih
penting ketimbang pemimpin”. Maka pergunakanlah jabatan itu untuk memberikan
manfaat sebanyak-banyaknya bagi masyarakat.
Posting Komentar