Selamat Datang di Website Setiyono

Anda Penjejak Ke:


Laporan Khusus III

Senin, 21 Oktober 20130 komentar



Misteri Di Balik Ajang Tembak Anggota POLRI
Oleh : Setiyono
(Political Analyst dan Aktivis KAMMI)

Akhir-akhir ini media tanah air banyak menyajikan pemberitaan terkait polisi yang menjadi sasaran tembak oleh orang yang tidak di kenal. Bahkan peristiwa penembakan  terhadap anggota kepolisian ini terjadi di beberapa kota di Indonesia. Data Indonesian Policy Watch mencatat angka polisi yang tewas saat bertugas terus meningkat. Di tahun 2012  ada 29 polisi tewas dan 14 lainnya luka-luka. Sebagian besar petugas yang tewas  adalah polisi jajaran bawah  akibat dibunuh pelaku kriminal. Angka ini mengalami kenaikan jika dibanding tahun 2011, dimana jumlah polisi  tewas saat bertugas hanya 20 orang. Sementara dalam tiga bulan terakhir sudah enam kali terjadi aksi kekerasan  terhadap anggota kepolisian. Meski sudah terjadi puluhan kali, sebagian aksi penembakan terhadap aparat  hingga kini belum terungkap.
Hal ini tentunya menjadi keresahan di hati publik dan bertanya-tanya apa sebenarnya yang melatarbelakangi ini semua? Mengapa pihak kepolisian sepertinya begitu kesulitan dalam mengungkap kasus ini? padahal yang menjadi korbannya tak lain adalah anggota mereka sendiri.
Sebagaimana yang diberitakan oleh media tanah air, bahwa kasus penembakan polisi ini pertama kali terjadi pada bulan Maret 2010, dimana seorang Anggota Polsek Prembun, Kebumen, Briptu Yona Anton (29) tewas tertembak. Oleh pelaku yang belum diketahui siapa gerangan. Jenazah pertama kali ditemukan oleh seseorang yang bernama Marno pada pukul 07.00, terbaring di kursi ruang tunggu Polsek Prembun. Dalam keterangan kepada media, seorang warga yang bernama Sudarwanto yang rumahnya persis di depan Polsek mengaku dua kali mendengar bunyi tembakan. Sebelumnya, dia juga mendengar anjing milik tetangganya terus menggonggong. Keesokan pagi, Darwanto menyaksikan korban bersimbah darah dengan luka bekas tembakan, setelah Marno melihat jenazah itu. Sampai saat ini, kasus ini belum terpecahkan siapa pelakunya. Walaupun pihak kepolisian sudah melakukan olah TKP dan mengali keterangan-keterangan dari warga sekitar. Selain karena tidak adanya saksi atas kejadian ini, juga dikarenakan profesionalnya pelaku. Sehingga kepolisian kesulitan untuk mengungkapkan siapa pelakunya.
Kemudian kasus ini terjadi lagi yakni pada April 2010, Penembakan di Pos Pol Kentengrejo, Purwodadi, Purworejo, jawa Tengah. Yang menewaskan Briptu Iwan Eko Nugroho (26) dan Bripka Wagino (60) yang diperkirakan juga ditembak pada dini hari, tidak ada saksi yang melihat. Dan sampai saat ini juga belum terungkap siapa pelakunya. Terus tak berapa lama pasca kasus itu terjadi, ternyata ada lagi kasus penembakan yang terjadi pada September 2010, dimana tiga polisi tewas dalam penyerangan terhadap Polsek Hamparan Perak, Deli Serdang, Sumatera Utara, yang terjadi pada pukul 01.00 WIB menewaskan Bripka Riswandi, Aipda Deto Sutejo dan Aiptu B Sinulingga. Disambung lagi dengan penembakan yang terjadi di pos polisi di Singosaren Plasa, Serengan, Solo, oleh orang tak dikenal juga, pada Agustus 2011. Dalam tragedi ini seorang anggota polisi yang tengah berjaga, Bripka Dwidata Subekti (53) tewas akibat penyerangan tersebut, dan pelakunya juga belum terungkap.
Selanjutnya pada tahun 2013, kasus penembakan polisi ini terlihat semakin marak terjadi. Kasus pertama ditahun 2013 ini yakni dialami oleh anggota Polantas Gambir Aipda Patah Satiyono di Jalan Cirendeu Raya, Jakarta Selatan, tewas ditembak ketika hendak berangkat dinas dari rumahnya di Bojong Gede, Depok.
Ada lagi kasus penembakan yang terjadi di Jalan Graha Raya Pondok Aren, Tangerang. Dimana korbannya saat itu adalah dua anggota Kepolisian Sektor Pondok Aren. Kasus ini terjadi pada Jumat malam, 16 Agustus 2013, pukul 21.30. Kedua polisi itu tewas dengan luka tembak di kepala. Juru bicara Kepolisian Daerah Metro Jaya, Komisaris Besar Rikwanto, mengatakan kedua korban yang merupakan anggota Polsek Pondok Aren ini bernama Bripka Maulana dan Aipda Kus Hendratma. Menurut Rikwanto, korban ditembak oleh dua pelaku yang mengendarai sepeda motor Yamaha Mio berwarna hitam. "Tepat di dekat Masjid Bani Umar, pelaku memepet motor yang dikendarai Aipda Kus Hendratma dan menembakkan senjata api ke kepalanya,"  
Saat kejadian itu, kata Rikwanto, di belakang sepeda motor Aipda Kus terdapat sebuah mobil Avanza yang digunakan oleh tim buser Polsek Pondok Aren. Mereka bersama Aipda Kus hendak ke Mapolsek Pondok Aren untuk upacara apel cipta kondisi, malam tadi. Melihat Aipda Kus terjatuh dari sepeda motornya, tim buser sebanyak empat orang langsung mengejar dan menabrak sepeda motor pelaku. Namun, mobil tim Buser tersebut malah terperosok ke got tanggul jalan. Kejadian itu dimanfaatkan oleh pelaku yang langsung turun dari sepeda motornya dan menembak Bripka Maulana, yang mengendarai mobil Avanza tersebut. "Bripka Maulana langsung meninggal di lokasi kejadian," ujar Rikwanto. Sempat terjadi baku tembak antara pelaku dan tiga polisi tim buser. Namun pelaku berhasil kabur dengan merampas sepeda motor milik warga. Kasus penembakan yang ini cukup bisa ditelisik siapa pelakunya, karena sempat terjadi pengejaran yang dilakukan oleh tim buser itu.  Yang mana mereka sempat berusaha melumpuhkan pelaku. Sempat terjadi juga baku tembak sekitar hampir 15 menit. Namun pelaku tidak berhasil ditangkap. Ini menjadi catatan penting untuk Tim Buser untuk sangat berhati-hati dalam melakukan penyergapan agar jangan sampai menambah masalah dalam menyelesaikan masalah.

Tidak hanya berhenti di Pondok Aren, ternyata kasus penembakan polisi ini terulang kembali namun ditempat yang berbeda. Seperti yang terjadi pada hari Selasa (24/9/2013), sekitar pukul 22.00 WIB di depan Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Yang mana waktu itu merupakan hari yang naas bagi Seorang anggota Provost Polair, Bripka Sukardi. Ia ditembak orang tak dikenal ketika sedang mengawal 6 tronton pengangkut elevator part di depan Gedung KPK, Jl HR Rasuna Said, Jakarta Selatan.
Berbeda dengan kasus di pondok aren, pelaku kali ini benar-benar leluasa dalam menjalankan aksinya karena tidak sempat berlawanan dengan polisi lainnya seperti yang diawal tadi. Pelaku masih dalam proses pelacakan mengingat kejadian getir itu terjadi pada malam hari yang menyulitkan saksi mata untuk melihat dengan jelas pelaku penembakan tersebut.
Penembakan Bripka Sukardi ini oleh seorang pengamat dinilai sebagai reaksi keras dari kinerja kepolisian. Sebagaimana disampaikan pengamat kepolisian Universitas Indonesia, Bambang Widodo Umar. Menurutnya, kinerja kepolisian harus segera dibenahi, khususnya Datasemen Khusus Anti Teror 88. "Tetap saya melihat kali ini sebagai aksi-reaksi daripada cara kerja Polri itu sendiri. Khususnya bagi Densus 88. Tindakan Densus 88 itu perlu dibenahi, jangan terlalu eksistensi atau terlalu berlebihan.” Bambang menghimbau Polri segera melakukan pembenahan kinerjanya. Selain itu, Polri juga dituntut meningkatkan pengawasan terhadap setiap anggotanya. "Cara-cara bekerja Densus di dalam menyikapi terorisme ini harus lebih manusiawi. Tindakan penembakan ini sebagai pelajaran, cuma akibatnya ini kan sasaran pelaku ke polisi lalu lintas, polisi Samapta," tambahnya.
Tragedi penembakan ini cukup membuat pilu masyarakat yang justru mengharapkan pengayoman dari polisi namun ternyata polisi tak dapat melindungi dirinya sendiri.

Teroris, biang semua ini?
Ketika kasus penembakan polisi itu semakin marak terjadi, maka berbagai pihak pun saling menafsirkan sendiri siapa pelakunya. Dan pihak kepolisian sendiri menafsirkan bahwa pelakunya terkait dengan jaringan teroris yang ada di Indonesia.
Penafsiran tersebut lantas mendapat tanggapan dari Ahli Psikologi Forensik Reza Indragiri Amriel yang menilai bahwa penyebutan pelaku penembakan Aipda Anumerta Sukardi dan penembakan polisi lainnya di Indonesia dengan sebutan teroris oleh pihak kepolisian justru kontra produktif. Menurutnya hal itu malah mempersulit pengungkapan dan memunculkan kekhawatiran yang eksesif di publik. Atau bahkan sebaliknya, kata dia, masyarakat justru tidak peka lagi terhadap bahaya terorisme. "Padahal musuh polisi sangat banyak. Mulai dari mafia narkoba, sindikat perampokan dan lain sebagainya. Mengapa tidak disebut saja penembaknya pasti pelaku kejahatan atau pelaku kriminal,"
Berulangnya peristiwa ini, kata Reza, menunjukkan tidak berjalannya mekanisme efek jera."Efek jera dihasilkan oleh kecepatan dan keajegan dalam penindakan. Ini tidak terjadi dan tidak dilakukan polisi," kata pengajar di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) ini. Ia lalu mempertanyakan sebutan penembak polisi dengan teroris karena polisi belum mampu mengungkapnya. "Lha, kalau semua dibilang teroris, lantas siapa yg bukan teroris?," tanya pengajar di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (UI), Universitas Tarumanegara dan Bina Nusantara ini.
Pengungkapan kasus penembakan katanya akan terbantu oleh criminal profiling yang rapi, data memadai, dan spesifik."Masalahnya, walau kasus ini menghebohkan, tapi jumlah korban belum memadai untuk pelaku disebut teroris. Juga tak spesifik, karena buru-buru disebut teroris," paparnya."Saya sudah capek dengan sebutan-sebutan teroris. Sama muaknya denga saat GW Bush sedikit-sedikit menyalahkan Sept 11th," kata Reza.
Sejalan dengan apa yang di sampaikan oleh Reza tadi, melihat fenomena tersebut maka Indonesian Police Watch (IPW) mengingatkan Polri agar jangan terpaku pada opini bahwa pelaku penembakan polisi merupakan tindak terorisme. "Akibatnya polisi terperangkap pada opininya sendiri hingga kesulitan mengungkap kasus-kasus penembakan terhadap personelnya itu," kata Ketua Presidium IPW, Neta S Pane di Jakarta, Rabu (11/9/2013) seperti dikutip Antara.
Neta S Pane juga mengatakan bahwa pelaku penembakan terhadap beberapa anggota kepolisian di wilayah hukum Polda Metro Jaya dalam sebulan terakhir bukan dilakukan kelompok teroris. IPW sendiri menduga penembakan tersebut ada kaitannya dengan maraknya aksi pemberantasan preman belakangan ini. "Sepertinya ada aksi balas dendam dari para pelaku kriminal jalanan terhadap polisi," ucapnya menegaskan. Menurutnya, terdapat pola serangan yang berbeda antara kejadian di Jakarta dan serangan-serangan kelompok teroris yang pernah terjadi di Indonesia. 
“Kelompok teroris selalu melakukan penyerangan kepada polisi dari arah depan dan dalam jarak tertentu, bukan jarak dekat dan dari belakang," argumennya.Neta menjelaskan, hal tersebut mengacu pada kejadian penembakan terhadap polisi di Deli Serdang, Solo, dan Poso. Di tiga tempat itu, kata Neta, kelompok teroris selalu melakukan penyerangan dari arah depan dan dalam jarak tertentu karena didukung jenis senjata yang memadai, yaitu senjata api organik asli, bukan senjata rakitan. 

Untuk itu, Neta menyarankan agar pihak kepolisian jangan terburu-buru menyimpulkan bahwa pelaku penembakan adalah kelompok teroris. Dia meminta agar pihak kepolisian melakukan penyidikan. 

IPW juga mengkhawatirkan dengan seringnya penembakan itu, akan membuat warga Ibu kota menjadi sangat takut dan khawatir.Pasalnya, kata dia, bagaimana polisi bisa melindungi masyarakat, jika melindungi diri sendiri tidak bisa."Ironisnya lagi kasus-kasus penembakan terhadap polisi itu tidak kunjung terungkap, sementara penembakan, pengeroyokan, dan penusukan terhadap polisi masih saja terjadi," tandasnya."IPW berharap Polri, khususnya Polda Metro Jaya segera mengungkap kasus ini, agar tren penembakan ini berhenti," ujarnya, berharap.

Setidaknya dengan gesitnya Polri dalam menumpas kasus ini bisa berdampak pada tiga hal: degradasi keresahan masyarakat, tertangkapnya sumber kejahatan, dan terhentinya penembakan terhadap anggota polisi yang lain.

BNPN : Pelaku Penembakan Adalah Teroris

Berbeda pendapat dengan Reza dan orang-orang IPW yang menyatakan bahwa pelaku penembakan bukanlah teroris, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPN) Irjen (Purn) H. Ansya’ad Mbai justru mengungkapkan, insiden penembakan terhadap sejumlah anggota Polri beberapa waktu lalu didalangi oleh jaringan kelompok teroris.“Para pelakunya merupakan kelompok mujahidin Indonesia barat yang selama ini berkolaborasi dengan kelompok mujahidin di Indonesia timur,” kata Mbai kepada wartawan di Ambon, Kamis (26/9/2013). 

Menurut Mbai, kelompok teroris ini menembaki polisi karena menganggap anggota polisi sebagai musuh. Polisi dianggap oleh kelompok teroris sebagai penghalang tujuan mereka selama ini. Pola aksi terorisme akhir-akhir ini mulai bergeser, sebelumnya aksi terorisme selalu difokuskan pada sasaran tertentu, namun saat ini sasarannya pada simbol simbol Negara. Tujuan mereka jelas, sengaja menembaki polisi untuk membuat polisi tidak aktif menjalankan tugasnya.

Analisis Pelaku Sementara

Kasus penembakan aparat penegak hukum ini sebenarnya bukan hal baru di negeri ini. Penembakan terhadap aparat beberapa kali terjadi di daerah konflik, seperti Aceh atau Papua. Korbannya sama, aparat penegak hukum. Bedanya penembakan di daerah konflik jelas pelakunya siapa, namun penembakan akhir-akhir ini belum jelas siapa pelakunya mengingat tempat penembakan yang beragam begitu juga dengan sasaran tembakannya.

Jika korbannya adalah polisi yang tentunya sudah terlatih, tentu para pelaku juga “bukan orang biasa”. Ada dua kemungkinan siapa pelaku penembakan ini. Kemungkinan pertama berasal dari kelompok yang terlatih untuk urusan strategi teror, sehingga mungkin sekali merupakan bagian dari kelompok jaringan terorisme. Jika bukti-bukti cukup kuat mengarah ke sana, aparat kepolisian pastinya sudah mempunyai rentetan nama-nama teroris yang ada dan cukup mudah dalam penyergapannya.

Kemungkinan kedua adalah jika ternyata pelakunya bukan teroris, maka bisa jadi kasus penembakan ini merupakan bagian dari suatu misi rahasia intelijen. Bisa jadi “pemberi komando” adalah orang yang memegang peranan cukup penting dalam politik dan pemerintahan. Dan kasus-kasus penembakan yang terjadi adalah skenario yang sengaja dirancang untuk memuluskan misi dari sang “pemberi komando”. Jika hal ini yang terjadi, sudah bisa dipastikan aparat kepolisian akan sangat sulit untuk bisa membongkarnya. Bisa jadi tahu tapi tidak punya power untuk membongkar lebih jauh. Satu-satunya cara adalah dengan memunculkan “kambing hitam” dalam kasus ini adalah teroris.

Analisis berikutnya dari segi sosial. Polisi mempunyai hubungan sosial yang lebih dekat dengan masyarakat dibandingkan TNI. Semakin banyak berinteraksi tentu semakin banyak gesekan yang terjadi. Bagaimana kaitannya?

Citra polisi bisa dibilang paling jelek di mata masyarakat dengan berbagai pengalaman yang terjadi di lapangan. Oknum polisi yang dengan terang-terangan bertindak sebagai “preman berseragam” dalam menegakkan disiplin berlalu lintas seringkali kita jumpai. Uang damai yang sangat menyengsarakan dan tak mendidik masyarakat sudah menjamur di tengah-tengah kita. Kasus-kasus inilah yang membekas secara psikologis di mata masyarakat umum. Dan bisa jadi penembakan ini dilakukan oleh masyarakat yang dendam dengan aparat hankam ini.

Beragam Spekulasi Yang Beredar

Penembakan para polisi ini menimbulkan spekulasi dan pertanyaan diklangan publik. Siapa dalang dan aktor intelektual di balik aksi penembakan terhadap para polisi belakangan ini? Adakah hubungannya dengan RUU Keamanan Nasional yang masih kontroversial? Ataukah ini rencana jahat dari orang baik yang bermotif materi dan kuasa?

Jika orang jahat berbuat jahat, maka itu mudah dideteksi. Namun jika ada orang baik-baik yang punya rencana jahat, itulah yang mengerikan dan harus dipecahkan oleh negara dan aparaturnya. Mungkinkah Indonesia akan menjadi Meksiko kedua dimana negara ini sudah tidak aneh lagi jika polisi tewas ditembak oleh kawanan misterius. Bagaimana dengan nasib warga sipil sendiri, yang polisi terlatih saja tidak mampu mengatasi kasus ini bahkan polisi malah menjadi korban. Ironisnya polisi yang menjadi korban berpangkat Brigadir dan menjadi tulang punggung keluarga.

Menurut Koordinator Indonesian Crime Analyst Forum (ICAF) Mustofa B Nahrawardaya mengatakan "Ada kemungkinan beberapa pihak yang paling bertanggung jawab atas insiden penembakan polisi ini.” Menurutnya, pihak pertama adalah sesama korps polisi. Alasannya pada tahun lalu terdapat 600 polisi dipecat dengan berbagai alasan. "Terdapat kemungkinan pelaku penembakan adalah mantan satu korps yang dipecat.Tindakan mereka memiliki alasan motif balas dendam karena sakit hati.”

Sedangkan kelompok kedua adalah gerakan misterius yang belum diketahui segala hal tentang mereka. Sementara itu, kelompok ketiga adalah oknum jaringan pengedar narkoba yang sedang melancarkan serangan balasan atas tertangkapnya dan tereksekusinya sejumlah rekan satu jaringan. Dan pihak terakhir atau keempat adalah kelompok teroris yang mengkambinghitamkan pelaksanaan Miss World di Indonesia yang beberapa waktu lalu melaksanakan ajangnya pada di negeri ini.

Sejauh ini, Kepolisian Republik Indonesia terus berupaya mengungkap kasus penembakan terhadap polisi yang terjadi beberapa waktu terakhir. Salah satu upayanya adalah dengan menggandeng Badan Intelijen Negara dan TNI guna menukar informasi yang dimiliki oleh tim intelijen masing-masing. "Bekerja sama dengan stakeholder yang lain. Yang sudah adalah terkait soal intelijen.Kita dapat pasokan intelijen dari BIN, TNI, dan aparat teritorial dari Babinsa," kata Mantan Kapolri, Jenderal Pol Timur Pradopo.

Pelaku Yang Dirahasiakan

Seperti analisis sebelumnya, ternyata Indonesia Police Watch (IPW) menilai aparat kepolisian tak berani mengungkap pelaku penembakan itu meskipun tau siapa dalang sebenarnya lantaran mendapat tekanan psikologis dari pihak tertentu. Polisi bahkan mengkambinghitamkan teroris yang berada di balik kasus penyerangan tersebut

"Polisi sepertinya dilanda dilema. Mereka sudah bisa mengidentifikasi pelaku tapi sepertinya tidak punya keberanian mengungkapnya secara transparan,” kata Ketua Presidium IPW Neta S Pane melalui pesan singkat yang diterima wartawan, Senin (23/9/2013). 

IPW meminta kepada Kapolri Jenderal Pol Timur Pradopo dapat menunjukan sikap tegas terhadap para pelaku penembakan. Dan penyidikan harus diselesaikan segera agar kasus penembakan misterius oleh orang tak dikenal tidak kembali terulang.


Mungkinkah efek perang Bintang?

Upaya untuk mengungkapkan kasus penembakan polisi yang terjadi beberapa waktu terakhir dinilai merupakan bagian dari pertaruhan penting bagi Kabareskrim Mabes Polri Komjen Pol. Sutarman sebagai calon Kapolri tempo lalu. Hal ini disampaikan oleh Komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) M. Nasser. 

"Perkara ini menjadi pertaruhan penting bagi Kabareskrim Komjen Pol. Sutarman untuk maju menjadi Kapolri.” 

Nasser mengatakan, pihaknya akan memberikan apresiasi yang tinggi kepada Komjen Pol. Sutarman jika pelaku penembak polisi itu tertangkap. Apalagi, kasus ini terjadi berulang kali. Kompolnas prihatin terhadap kejadian tersebut. Oleh karena itu, Kompolnas berharap, polisi segera menangkap pelakunya. Menurut Nasser, rangkaian insiden tersebut telah melecehkan Polri.  Kasus demi kasus ini sebenarnya bisa menjadi batu loncatan bagi para Komjen untuk maju menjadi Kapolri. Jika bisa memanfaatkan momen itu, “Bintang” itu bisa ia raih.

Strategi Memberantas

Agar kasus ini tak berlarut-larut penulis menawarkan solusi. Polisi harus meningkatkan razia di jalanan dan meningkatkan kewaspadaan. Jauh lebih baik untuk merazia tempat-tempat yang diduga di mana senjata-senjata api rakitan dibuat. Kemungkinan lain, jika memang senjata yang digunakan bukan rakitan maka polisi tetap perlu melakukan operasi khusus. Langkah-langkah ini muaranya untuk mengungkap siapa pelaku maupun dalang di balik aksi-aksi teror. Strategi ini berlaku jika memang pelaku penembakan adalah teroris maupun kelompok masyarakat yang membenci polisi. Berbeda lagi kasusnya jika kasus penembakan ini adalah konspirasi para “petinggi”. Maka silakan selesaikan urusan internal tanpa perlu membuat khawatir masyarakat akan kasus ini.

Untuk ke depannya polisi tak perlu menggunakan rompi anti peluru karena biayanya terlalu mahal. Lagi pula penggunaan rompi anti peluru akan sangat merepotkan dan tidak ada gunanya. Penggunaan rompi anti peluru akan menyulitkan pergerakan petugas di lapangan. Kecuali memang dalam operasi-operasi khusus, tentu diperlukan untuk pengamanan.Yang penting pengejarannya diintensifkan terus.Jangan berhenti sebelum terungkap.Polisi perlu all out menghadapi kondisi ini.

Sumber :
1.      Detik.com
2.      Kompas.com
3.      Vivanews.com
4.      Tribunnews.com
5.      Sindonews.com
6.      Okezone.com
Silahkan share artikel ini : :

Posting Komentar

 
Web ini dikembangkan oleh PUSAT MULTIMEDIA
Template Created by Creating Website Modify by CaraGampang.Com
Proudly powered by Blogger