Misteri Di Balik Ajang Tembak
Anggota POLRI
Oleh : Setiyono
(Political Analyst dan Aktivis KAMMI)
Akhir-akhir
ini media tanah air banyak menyajikan pemberitaan terkait polisi
yang menjadi sasaran tembak
oleh orang yang tidak di kenal. Bahkan
peristiwa penembakan terhadap anggota kepolisian ini terjadi di beberapa
kota di Indonesia. Data
Indonesian Policy Watch mencatat angka polisi yang tewas saat bertugas terus
meningkat. Di tahun 2012 ada 29 polisi tewas dan 14 lainnya luka-luka.
Sebagian besar petugas yang tewas adalah polisi jajaran bawah
akibat dibunuh pelaku kriminal. Angka ini mengalami kenaikan jika dibanding
tahun 2011, dimana jumlah polisi tewas saat bertugas hanya 20 orang.
Sementara dalam tiga bulan terakhir sudah enam kali terjadi aksi kekerasan
terhadap anggota kepolisian. Meski sudah terjadi puluhan kali, sebagian aksi
penembakan terhadap aparat hingga kini belum terungkap.
Hal
ini tentunya menjadi keresahan di hati publik dan bertanya-tanya apa sebenarnya
yang melatarbelakangi ini semua? Mengapa pihak kepolisian sepertinya begitu
kesulitan dalam mengungkap kasus ini? padahal yang menjadi korbannya tak lain
adalah anggota mereka sendiri.
Sebagaimana yang diberitakan
oleh media tanah air, bahwa kasus penembakan polisi ini pertama kali terjadi
pada bulan Maret 2010, dimana seorang Anggota
Polsek Prembun, Kebumen, Briptu Yona Anton (29) tewas tertembak. Oleh pelaku yang belum diketahui siapa gerangan. Jenazah pertama kali ditemukan oleh seseorang yang bernama Marno pada pukul 07.00,
terbaring di kursi ruang tunggu Polsek Prembun. Dalam keterangan kepada media, seorang warga yang bernama Sudarwanto yang rumahnya persis di depan Polsek mengaku dua kali
mendengar bunyi tembakan. Sebelumnya, dia juga mendengar anjing milik
tetangganya terus menggonggong. Keesokan pagi, Darwanto menyaksikan korban bersimbah darah dengan
luka bekas tembakan, setelah Marno
melihat jenazah itu. Sampai
saat ini, kasus ini belum terpecahkan siapa pelakunya. Walaupun pihak
kepolisian sudah melakukan olah TKP dan mengali keterangan-keterangan dari
warga sekitar. Selain karena tidak adanya saksi atas kejadian ini, juga
dikarenakan profesionalnya pelaku. Sehingga kepolisian kesulitan untuk
mengungkapkan siapa pelakunya.
Kemudian kasus ini terjadi lagi yakni pada April 2010, Penembakan di Pos Pol Kentengrejo, Purwodadi, Purworejo, jawa
Tengah. Yang
menewaskan Briptu Iwan Eko Nugroho (26) dan Bripka Wagino (60) yang
diperkirakan juga ditembak pada dini hari, tidak ada saksi yang melihat. Dan sampai saat ini juga belum terungkap siapa
pelakunya. Terus tak berapa lama pasca kasus itu terjadi, ternyata ada lagi
kasus penembakan yang terjadi pada September 2010, dimana tiga polisi tewas dalam penyerangan terhadap Polsek Hamparan Perak,
Deli Serdang, Sumatera Utara, yang terjadi pada pukul 01.00 WIB menewaskan
Bripka Riswandi, Aipda Deto Sutejo dan Aiptu B Sinulingga. Disambung lagi dengan penembakan yang terjadi di pos polisi di Singosaren Plasa, Serengan, Solo, oleh orang tak
dikenal juga, pada Agustus 2011. Dalam tragedi ini seorang anggota polisi yang tengah berjaga, Bripka Dwidata Subekti
(53) tewas akibat penyerangan tersebut, dan pelakunya juga belum terungkap.
Selanjutnya pada tahun 2013, kasus penembakan polisi ini terlihat semakin
marak terjadi. Kasus pertama ditahun 2013 ini yakni dialami oleh anggota Polantas Gambir Aipda Patah Satiyono di Jalan Cirendeu Raya,
Jakarta Selatan, tewas ditembak ketika hendak berangkat dinas dari rumahnya di
Bojong Gede, Depok.
Ada lagi kasus penembakan yang terjadi di Jalan
Graha Raya Pondok Aren, Tangerang.
Dimana korbannya saat itu adalah dua anggota Kepolisian
Sektor Pondok Aren. Kasus ini terjadi
pada Jumat malam, 16 Agustus 2013, pukul 21.30. Kedua polisi itu tewas dengan
luka tembak di kepala. Juru bicara Kepolisian Daerah
Metro Jaya, Komisaris Besar Rikwanto, mengatakan kedua korban yang merupakan
anggota Polsek Pondok Aren ini bernama Bripka Maulana dan Aipda Kus Hendratma. Menurut
Rikwanto, korban ditembak oleh dua pelaku yang mengendarai sepeda motor Yamaha
Mio berwarna hitam. "Tepat di dekat Masjid Bani Umar, pelaku memepet motor
yang dikendarai Aipda Kus Hendratma dan menembakkan senjata api ke
kepalanya,"
Saat
kejadian itu, kata Rikwanto, di belakang sepeda motor Aipda Kus terdapat sebuah
mobil Avanza yang digunakan oleh tim buser Polsek Pondok Aren. Mereka bersama
Aipda Kus hendak ke Mapolsek Pondok Aren untuk upacara apel cipta kondisi,
malam tadi. Melihat Aipda Kus terjatuh dari sepeda motornya, tim buser sebanyak
empat orang langsung mengejar dan menabrak sepeda motor pelaku. Namun, mobil
tim Buser tersebut malah terperosok ke got tanggul jalan. Kejadian itu
dimanfaatkan oleh pelaku yang langsung turun dari sepeda motornya dan menembak
Bripka Maulana, yang mengendarai mobil Avanza tersebut. "Bripka Maulana
langsung meninggal di lokasi kejadian," ujar Rikwanto. Sempat terjadi baku
tembak antara pelaku dan tiga polisi tim buser. Namun pelaku berhasil kabur dengan
merampas sepeda motor milik warga. Kasus
penembakan yang ini cukup bisa
ditelisik siapa pelakunya,
karena sempat terjadi pengejaran yang dilakukan oleh tim buser itu. Yang mana mereka sempat berusaha melumpuhkan pelaku. Sempat terjadi
juga baku tembak sekitar hampir 15
menit. Namun pelaku tidak berhasil ditangkap. Ini
menjadi catatan penting untuk Tim Buser untuk sangat berhati-hati dalam
melakukan penyergapan agar jangan sampai menambah masalah dalam menyelesaikan
masalah.
Tidak hanya berhenti di Pondok Aren, ternyata kasus
penembakan polisi ini terulang kembali namun ditempat yang berbeda. Seperti
yang terjadi pada hari Selasa
(24/9/2013), sekitar pukul 22.00 WIB di depan Gedung Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK). Yang mana
waktu itu merupakan hari yang
naas bagi Seorang anggota Provost Polair, Bripka
Sukardi. Ia ditembak orang tak
dikenal ketika sedang mengawal 6 tronton pengangkut elevator part di depan
Gedung KPK, Jl HR Rasuna Said, Jakarta Selatan.
Berbeda dengan kasus di pondok aren, pelaku
kali ini benar-benar leluasa dalam menjalankan aksinya karena tidak sempat
berlawanan dengan polisi lainnya seperti yang diawal tadi. Pelaku
masih dalam proses pelacakan
mengingat kejadian getir itu terjadi pada malam hari yang menyulitkan saksi
mata untuk melihat dengan jelas pelaku penembakan tersebut.
Penembakan
Bripka Sukardi ini oleh seorang
pengamat dinilai sebagai reaksi keras dari kinerja kepolisian.
Sebagaimana disampaikan pengamat kepolisian Universitas Indonesia, Bambang
Widodo Umar. Menurutnya,
kinerja kepolisian harus segera dibenahi, khususnya Datasemen Khusus Anti Teror
88. "Tetap
saya melihat kali ini sebagai aksi-reaksi daripada cara kerja Polri itu
sendiri. Khususnya bagi Densus 88. Tindakan Densus 88 itu perlu dibenahi,
jangan terlalu eksistensi atau terlalu berlebihan.” Bambang menghimbau Polri segera
melakukan pembenahan kinerjanya. Selain itu, Polri juga dituntut meningkatkan
pengawasan terhadap setiap anggotanya. "Cara-cara bekerja Densus di dalam
menyikapi terorisme ini harus lebih manusiawi. Tindakan penembakan ini sebagai
pelajaran, cuma akibatnya ini kan sasaran pelaku ke polisi lalu lintas, polisi
Samapta," tambahnya.
Tragedi penembakan ini
cukup membuat pilu masyarakat yang justru mengharapkan pengayoman dari polisi namun ternyata polisi tak dapat melindungi dirinya sendiri.
Teroris, biang semua ini?
Ketika kasus penembakan polisi itu semakin marak terjadi, maka berbagai
pihak pun saling menafsirkan sendiri siapa pelakunya. Dan pihak kepolisian
sendiri menafsirkan bahwa pelakunya terkait dengan jaringan teroris yang ada di
Indonesia.
Penafsiran tersebut lantas mendapat tanggapan dari Ahli
Psikologi Forensik Reza Indragiri
Amriel yang menilai bahwa penyebutan pelaku penembakan Aipda Anumerta
Sukardi dan penembakan polisi lainnya di Indonesia dengan sebutan teroris oleh pihak
kepolisian justru kontra produktif. Menurutnya hal itu malah mempersulit pengungkapan
dan memunculkan kekhawatiran yang eksesif di publik. Atau bahkan sebaliknya,
kata dia, masyarakat justru tidak peka lagi terhadap bahaya terorisme. "Padahal
musuh polisi sangat banyak. Mulai dari mafia narkoba, sindikat perampokan dan
lain sebagainya. Mengapa tidak disebut saja penembaknya pasti pelaku kejahatan
atau pelaku kriminal,"
Berulangnya
peristiwa ini, kata Reza, menunjukkan tidak berjalannya mekanisme efek
jera."Efek jera dihasilkan oleh kecepatan dan keajegan dalam penindakan.
Ini tidak terjadi dan tidak dilakukan polisi," kata pengajar di Perguruan
Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) ini. Ia lalu mempertanyakan sebutan penembak polisi
dengan teroris karena polisi belum mampu mengungkapnya. "Lha, kalau semua
dibilang teroris, lantas siapa yg bukan teroris?," tanya pengajar di
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (UI), Universitas Tarumanegara dan
Bina Nusantara ini.
Pengungkapan
kasus penembakan katanya akan terbantu oleh criminal profiling yang rapi, data
memadai, dan spesifik."Masalahnya, walau kasus ini menghebohkan, tapi
jumlah korban belum memadai untuk pelaku disebut teroris. Juga tak spesifik,
karena buru-buru disebut teroris," paparnya."Saya sudah capek dengan sebutan-sebutan teroris.
Sama muaknya denga saat GW Bush sedikit-sedikit menyalahkan Sept 11th,"
kata Reza.
Sejalan dengan apa yang di sampaikan oleh Reza tadi, melihat fenomena tersebut
maka Indonesian Police Watch (IPW) mengingatkan Polri
agar jangan terpaku pada opini bahwa pelaku penembakan polisi merupakan tindak
terorisme. "Akibatnya polisi terperangkap pada opininya sendiri hingga
kesulitan mengungkap kasus-kasus penembakan terhadap personelnya itu,"
kata Ketua Presidium IPW, Neta S Pane di Jakarta, Rabu (11/9/2013) seperti
dikutip Antara.
Neta S Pane juga mengatakan bahwa pelaku penembakan
terhadap beberapa anggota kepolisian di wilayah hukum Polda Metro Jaya dalam
sebulan terakhir bukan dilakukan kelompok teroris. IPW sendiri
menduga penembakan tersebut ada kaitannya dengan maraknya aksi pemberantasan
preman belakangan ini. "Sepertinya ada aksi balas dendam dari para pelaku
kriminal jalanan terhadap polisi," ucapnya menegaskan. Menurutnya, terdapat pola serangan yang berbeda antara
kejadian di Jakarta dan serangan-serangan kelompok teroris yang pernah terjadi
di Indonesia.
“Kelompok teroris
selalu melakukan penyerangan kepada polisi dari arah depan dan dalam jarak
tertentu, bukan jarak dekat dan dari belakang," argumennya.Neta
menjelaskan, hal tersebut mengacu pada kejadian penembakan terhadap polisi di
Deli Serdang, Solo, dan Poso. Di
tiga tempat itu, kata Neta, kelompok teroris selalu melakukan penyerangan dari
arah depan dan dalam jarak tertentu karena didukung jenis senjata yang memadai,
yaitu senjata api organik asli, bukan senjata rakitan.
Untuk itu, Neta
menyarankan agar pihak kepolisian jangan terburu-buru menyimpulkan bahwa pelaku
penembakan adalah kelompok teroris. Dia
meminta agar pihak kepolisian melakukan penyidikan.
IPW juga
mengkhawatirkan dengan seringnya penembakan itu, akan membuat warga Ibu kota
menjadi sangat takut dan khawatir.Pasalnya, kata dia, bagaimana polisi bisa
melindungi masyarakat, jika melindungi diri sendiri tidak bisa."Ironisnya
lagi kasus-kasus penembakan terhadap polisi itu tidak kunjung terungkap,
sementara penembakan, pengeroyokan, dan penusukan terhadap polisi masih saja
terjadi," tandasnya."IPW berharap Polri, khususnya Polda Metro Jaya
segera mengungkap kasus ini, agar tren penembakan ini berhenti," ujarnya,
berharap.
Setidaknya dengan
gesitnya Polri dalam menumpas kasus ini bisa berdampak pada tiga hal: degradasi
keresahan masyarakat, tertangkapnya sumber kejahatan, dan terhentinya
penembakan terhadap anggota polisi yang lain.
BNPN : Pelaku Penembakan Adalah Teroris
Berbeda pendapat dengan Reza dan orang-orang IPW yang menyatakan bahwa pelaku penembakan bukanlah
teroris, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPN) Irjen (Purn) H.
Ansya’ad Mbai justru mengungkapkan, insiden penembakan terhadap sejumlah anggota
Polri beberapa waktu lalu didalangi oleh jaringan kelompok teroris.“Para
pelakunya merupakan kelompok mujahidin Indonesia barat yang selama ini
berkolaborasi dengan kelompok mujahidin di Indonesia timur,” kata Mbai kepada
wartawan di Ambon, Kamis (26/9/2013).
Menurut Mbai, kelompok
teroris ini menembaki polisi karena menganggap anggota polisi sebagai musuh.
Polisi dianggap oleh kelompok teroris sebagai penghalang tujuan mereka selama
ini. Pola aksi terorisme akhir-akhir ini mulai bergeser, sebelumnya aksi
terorisme selalu difokuskan pada sasaran tertentu, namun saat ini sasarannya
pada simbol simbol Negara. Tujuan
mereka jelas, sengaja menembaki polisi untuk membuat polisi tidak aktif
menjalankan tugasnya.
Analisis
Pelaku Sementara
Kasus penembakan aparat penegak hukum ini
sebenarnya bukan hal baru di negeri ini. Penembakan terhadap aparat beberapa
kali terjadi di daerah konflik, seperti Aceh atau Papua. Korbannya sama, aparat
penegak hukum. Bedanya penembakan di daerah konflik jelas pelakunya siapa,
namun penembakan akhir-akhir ini belum jelas siapa pelakunya mengingat tempat
penembakan yang beragam begitu juga dengan sasaran tembakannya.
Jika korbannya adalah polisi yang tentunya
sudah terlatih, tentu para pelaku juga “bukan orang biasa”. Ada dua kemungkinan
siapa pelaku penembakan ini. Kemungkinan pertama berasal dari
kelompok yang terlatih untuk urusan strategi teror, sehingga mungkin
sekali merupakan bagian dari kelompok jaringan terorisme. Jika bukti-bukti cukup
kuat mengarah ke sana, aparat kepolisian pastinya sudah mempunyai rentetan
nama-nama teroris yang ada dan cukup mudah dalam penyergapannya.
Kemungkinan kedua adalah jika ternyata
pelakunya bukan teroris, maka bisa jadi kasus penembakan ini merupakan bagian
dari suatu misi rahasia intelijen. Bisa jadi “pemberi komando” adalah orang
yang memegang peranan cukup penting dalam politik dan pemerintahan. Dan
kasus-kasus penembakan yang terjadi adalah skenario yang sengaja dirancang
untuk memuluskan misi dari sang “pemberi komando”. Jika hal ini yang terjadi,
sudah bisa dipastikan aparat kepolisian akan sangat sulit untuk bisa
membongkarnya. Bisa jadi tahu tapi tidak punya power untuk membongkar lebih jauh. Satu-satunya cara adalah dengan
memunculkan “kambing hitam” dalam kasus ini adalah teroris.
Analisis berikutnya dari segi sosial. Polisi mempunyai
hubungan sosial yang lebih dekat dengan masyarakat dibandingkan TNI. Semakin
banyak berinteraksi tentu semakin banyak gesekan yang terjadi. Bagaimana
kaitannya?
Citra
polisi bisa dibilang paling jelek di mata masyarakat dengan berbagai pengalaman
yang terjadi di lapangan. Oknum polisi yang dengan terang-terangan bertindak
sebagai “preman berseragam” dalam menegakkan disiplin berlalu lintas seringkali
kita jumpai. Uang damai yang sangat menyengsarakan dan tak mendidik masyarakat
sudah menjamur di tengah-tengah kita. Kasus-kasus inilah yang membekas secara
psikologis di mata masyarakat umum. Dan bisa jadi penembakan ini dilakukan oleh
masyarakat yang dendam dengan aparat hankam ini.
Beragam Spekulasi Yang Beredar
Penembakan para polisi ini menimbulkan
spekulasi dan pertanyaan diklangan
publik. Siapa dalang dan aktor intelektual di balik aksi penembakan terhadap para
polisi belakangan ini? Adakah hubungannya dengan RUU Keamanan Nasional yang
masih kontroversial? Ataukah ini rencana jahat dari orang baik yang bermotif
materi dan kuasa?
Jika orang jahat
berbuat jahat, maka itu mudah dideteksi. Namun jika ada orang baik-baik yang
punya rencana jahat, itulah yang mengerikan dan harus dipecahkan oleh negara
dan aparaturnya. Mungkinkah Indonesia akan menjadi Meksiko kedua dimana negara ini
sudah tidak aneh lagi jika polisi tewas ditembak oleh kawanan misterius.
Bagaimana dengan nasib warga sipil sendiri, yang polisi terlatih saja tidak
mampu mengatasi kasus ini bahkan polisi malah menjadi korban. Ironisnya polisi
yang menjadi korban berpangkat Brigadir dan menjadi tulang punggung keluarga.
Menurut
Koordinator Indonesian Crime Analyst Forum (ICAF)
Mustofa B Nahrawardaya mengatakan "Ada kemungkinan beberapa pihak yang
paling bertanggung jawab atas insiden penembakan polisi ini.” Menurutnya, pihak pertama adalah
sesama korps polisi. Alasannya pada tahun lalu terdapat 600 polisi dipecat
dengan berbagai alasan. "Terdapat kemungkinan pelaku penembakan adalah
mantan satu korps yang dipecat.Tindakan mereka memiliki alasan motif balas dendam
karena sakit hati.”
Sedangkan kelompok
kedua adalah gerakan misterius yang belum diketahui segala hal tentang mereka.
Sementara itu, kelompok ketiga adalah oknum jaringan pengedar narkoba yang
sedang melancarkan serangan balasan atas tertangkapnya dan tereksekusinya
sejumlah rekan satu jaringan. Dan pihak terakhir atau keempat adalah kelompok
teroris yang mengkambinghitamkan pelaksanaan Miss World di Indonesia yang beberapa waktu lalu melaksanakan ajangnya pada di negeri ini.
Sejauh ini,
Kepolisian Republik Indonesia terus berupaya mengungkap kasus penembakan
terhadap polisi yang terjadi beberapa waktu terakhir. Salah satu upayanya
adalah dengan menggandeng Badan Intelijen Negara dan TNI guna menukar informasi
yang dimiliki oleh tim intelijen masing-masing. "Bekerja sama dengan
stakeholder yang lain. Yang sudah adalah terkait soal intelijen.Kita dapat
pasokan intelijen dari BIN, TNI, dan aparat teritorial dari Babinsa," kata
Mantan Kapolri, Jenderal Pol Timur
Pradopo.
Pelaku Yang Dirahasiakan
Seperti analisis
sebelumnya, ternyata Indonesia Police Watch (IPW) menilai aparat kepolisian tak
berani mengungkap pelaku penembakan itu meskipun tau siapa dalang sebenarnya
lantaran mendapat tekanan psikologis dari pihak tertentu. Polisi bahkan mengkambinghitamkan
teroris yang berada di balik kasus penyerangan tersebut
"Polisi sepertinya
dilanda dilema. Mereka sudah bisa mengidentifikasi pelaku tapi sepertinya tidak
punya keberanian mengungkapnya secara transparan,” kata Ketua Presidium IPW
Neta S Pane melalui pesan singkat yang diterima wartawan, Senin (23/9/2013).
IPW meminta kepada
Kapolri Jenderal Pol Timur Pradopo dapat menunjukan sikap tegas terhadap para
pelaku penembakan. Dan penyidikan harus diselesaikan segera agar kasus
penembakan misterius oleh orang tak dikenal tidak kembali terulang.
Mungkinkah
efek perang Bintang?
Upaya untuk
mengungkapkan kasus penembakan polisi yang terjadi beberapa waktu terakhir
dinilai merupakan bagian dari pertaruhan penting bagi Kabareskrim Mabes Polri Komjen Pol.
Sutarman sebagai calon Kapolri tempo lalu. Hal ini
disampaikan oleh Komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) M. Nasser.
"Perkara ini menjadi
pertaruhan penting bagi Kabareskrim Komjen Pol. Sutarman untuk maju menjadi
Kapolri.”
Nasser mengatakan,
pihaknya akan memberikan apresiasi yang tinggi kepada Komjen Pol. Sutarman jika
pelaku penembak polisi itu tertangkap. Apalagi, kasus ini terjadi berulang
kali. Kompolnas prihatin terhadap kejadian tersebut. Oleh karena itu, Kompolnas
berharap, polisi segera menangkap pelakunya. Menurut Nasser, rangkaian insiden
tersebut telah melecehkan Polri. Kasus
demi kasus ini sebenarnya bisa menjadi batu loncatan bagi para Komjen untuk maju menjadi Kapolri. Jika bisa memanfaatkan momen itu, “Bintang” itu bisa ia raih.
Strategi Memberantas
Agar kasus ini tak berlarut-larut
penulis menawarkan solusi. Polisi harus meningkatkan razia di jalanan dan meningkatkan
kewaspadaan. Jauh lebih baik untuk merazia tempat-tempat yang diduga di mana
senjata-senjata api rakitan dibuat. Kemungkinan lain, jika memang senjata yang
digunakan bukan rakitan maka polisi tetap perlu melakukan operasi khusus.
Langkah-langkah ini muaranya untuk mengungkap siapa pelaku maupun dalang di
balik aksi-aksi teror. Strategi ini berlaku jika memang pelaku penembakan
adalah teroris maupun kelompok masyarakat yang membenci polisi. Berbeda lagi
kasusnya jika kasus penembakan ini adalah konspirasi para “petinggi”. Maka
silakan selesaikan urusan internal tanpa perlu membuat khawatir masyarakat akan
kasus ini.
Untuk ke depannya polisi tak perlu
menggunakan rompi anti peluru karena biayanya terlalu mahal. Lagi pula
penggunaan rompi anti peluru akan sangat merepotkan dan tidak ada gunanya.
Penggunaan rompi anti peluru akan menyulitkan pergerakan petugas di lapangan.
Kecuali memang dalam operasi-operasi khusus, tentu diperlukan untuk
pengamanan.Yang penting pengejarannya diintensifkan terus.Jangan berhenti
sebelum terungkap.Polisi perlu all out menghadapi kondisi ini.
Sumber :
1.
Detik.com
2.
Kompas.com
3.
Vivanews.com
4.
Tribunnews.com
5.
Sindonews.com
6.
Okezone.com
Posting Komentar