Runtuhnya Tiang MK..!!
Oleh
: Setiyono
(Political
Analyst dan Aktivis KAMMI)
Mahkamah Konstitusi
Di banyak
negara, keberadaan Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan unsur terpenting dalam
negara yang menganut sistem hukum modern. Dan kebanyakan, negara-negara yang
membentuk MK merupakan negara yang baru mengalami peralihan, dari sistem
otoriter, diktator, menuju ke sistem Demokratis sebagaimana yang di terapkan di
negara-negara baru dunia.
Sedangkan
di Indonesia sendiri, MK merupakan lembaga negara yang memiliki peran sangat
strategis bagi penegakan hukum di Indonesia. Pasalnya, lembaga ini berwenang
untuk mengadili segala bentuk permasalahan yang berkaitan dengan konstitusi
negeri ini (Pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, Sengketa
Pilkada, Pembubaran Partai, dan bahkan Impeachment terhadap Presiden), baik
diawal permasalahan maupun sampai di akhir permasalahan semua ditangani oleh
lembaga ini. Dan setiap putusan yang dihasilkan olehnya bila mengacu kepada
sistem bernegara kita, maka semuanya dianggap putusan final, tetap dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh (inkracht van gewijsde) untuk mengagalkan
putusan tersebut. Hal ini termaktub dalam pasal 24 ayat 2 , dan pasal 24
C Undang-Undang Dasar 1945 tentang Kedudukan, Kewenangan, dan Kewajiban
Mahkamah Konstitusi. Selain itu juga diatur dalam Undang-Undang No 24 Tahun
2003.
MK
mulai terbentuk sejak disepakatinya Undang-Undang Dasar 1945 yang
disahkan pada 10 Agustus 2002, dan keberadaannya sampai tahun
2013 ini telah mempengaruhi dengan sangat signifikan mengenai setiap putusan
hukum dan ketatanegaraan di Indonesia. Putusan-putusannya banyak mengejutkan
publik dan tak jarang sering mendapatkan acungan jempol karena terkesan berani
dan tegas. Setiap keputusan yang dihasilkan oleh MK adalah final, maka semua
pihak yang terkait dalam putusan itu mau tidak mau, suka-tidak suka harus
melaksanakan putusan tersebut. Bahkan saking kuatnya pengaruh MK terhadap
putusan hukum di negeri ini, mampu mengalahkan semua putusan-putusan hukum lain
walaupun itu sudah mulai dilaksanakan, dan bila kenyataannya bertentangan
dengan putusan MK, maka yang menjadi dasar hukum adalah putusan MK dan putusan hukum
lainnya menjadi termentahkan. Begitulah kekuatan MK dalam sistem negara kita.
Yang bila kita lihat gedungnya ada sembilan tiang yang besar dan gagah, yang
menyimbolkan bahwa hakim MK ada sembilan orang yang merupakan orang yang suci
(katanya) dalam penegakan hukum.
Tiang itu mulai runtuh !!
Rabu
2 Oktober 2013, masyarakat Indonesia dikejutkan dengan berita penangkapan
seorang ketua MK yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dalam
kasus suap sengketa Pemilihan Kepala Daerah.
Dialah
yang kita kenal dengan nama Akil Mochtar sang ketua MK, yang ditangkap oleh KPK
bersama dengan Anggota DPR Chairun Nisa dan seorang pengusaha Cornelis Nalau.
Selain itu, Tubagus Chaery Wardana alias Wawan yang merupakan adik dari
Gubernur Banten Ratu Atut dan beberapa orang lainnya juga diamankan KPK. Kasus
suap tersebut memang benar-benar telah mencoreng lembaga yang merupakan benteng
konstitusi negeri ini. Terlepas nanti dapat dibuktikan atau tidak kebenarannya
itu soal lain. Yang jelas, informasi terkait operasi tangkap tangan (OTT) yang
dilakukan oleh KPK kepada Akil Mochtar ini sudah tersebar luas di media dan
ditonton oleh jutaan pasang mata baik dalam tataran nasional maupun
internasional. Hal ini tentunya memberikan efek negatif terhadap tingkat
kepercayaan publik kepada seluruh lembaga hukum yang ada di Indonesia.
Jika
sebelumnya ada “Adagium” publik yang berbunyi
“setiap putusan hakim harus dianggap benar”, sepertinya semakin tidak
relevan lagi untuk tertanam dalam benak publik. Dan hari ini adagium yang
muncul menurut penulis justru demikian “bahwa lembaga hukum itu penuh dengan
permainan yang sudah diatur sedemikian rupa dan orang-orang didalam lembaga
hukum itu sudah tidak lagi seperti malaikat melainkan hanya manusia-manusia
biasa”. Hingga pada akhirnya muncullah sebuah pemakluman bahwa “bila suatu
waktu aparatur penegak hukum melakukan kesalahan, maka itu diangggap sebagai
sesuatu yang biasa-biasa saja”. Ketika pemakluman itu sudah ada dalam benak
publik, maka sulit dibayangkan bagaimana model penegakan hukum di Indonesia.
Narkotika di ruang kerja Akil
Mochtar?
Selain
menangkap Akil Mochtar, penyidik KPK juga menemukan narkoba di ruang kerja
Ketua MK-nonaktif itu. Temuan itu berupa ganja dan dua butir ekstasi yang ada
dalam bungkus rokok. Hal ini tentunya semakin menambah kekecewaan publik
terhadap institusi MK itu sendiri, dan semakin menguatkan penilaian publik
bahwa banyak pejabat negeri ini yang sudah hancur moralitasnya. Walaupun sampai sejauh ini belum bisa
dibuktikan siapa gerangan yang memiliki barang haram tersebut dan siapa yang
mengunakannya. Karena hasil pemeriksaan dari Badan Narkotika Nasional (BNN)
terhadap Akil Mochtar adalah negatif bahwa ketua MK-nonaktif itu tidak
mengunakan narkoba.
Sampai
saat ini, BNN masih terus melakukan penyelidikan untuk mengetahui asal muasal
narkotika itu. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Kepala Humas BNN Kombes
Sumirat Dwiyanto, "Kami akan tindak lanjuti soal ini. Bagaimana barang itu
bisa ada di sana”.
Kita
tentunya berharab agar BNN bisa segera menguak misteri dari narkotika itu,
sehingga tanda tanya publik segera terjawab. Dan barang siapa yang terlibat
kepemilikan ataupun mengunakan narkotika itu, tentunya harus di hukum sesuai
dengan aturan yang berlaku. Bila pada kenyataannya Akil Mochtar yang
memilikinya, maka dia harus dijerat dengan pasal yang berlapis, suap dengan
kepemilikan narkotika tentunya.
Dalam
hal ini BNN dan Polri tentunya harus terus bekerja sama, karena boleh jadi bila
pada kenyataannya itu bukan milik Akil Mochtar ataupun bukan milik pegawai MK,
maka bisa saja barang tersebut sengaja di letakkan oleh oknum tertentu untuk
semakin memperkeruh suasana. Dan ini menjadi teka-teki yang harus dipecahkan
oleh BNN dan Polri.
Hukuman Mati Untuk Akil Mochtar?
Operasi
tangkap tangan (OTT) yang melibatkan Akil Mochtar ini tentunya membuat wibawa
MK runtuh dan nyaris amblas kedasar bumi. Hal ini sontak mengusik para
tokoh-tokoh nasional untuk bersuara dan mengutuk Akil Mochtar, bahkan ada
beberapa tokoh yang menyatakan bahwa Akil Mochtar harus di hukum mati.
Seperti
Jimly Asshidiqqie yang merupakan mantan ketua MK, ia mengungkapkan bahwa “KPK
harus berani menempatkan tuntutan pidana mati”.
Pertimbangannya adalah MK merupakan lembaga hukum tertinggi, tentu
hukuman harus maksimal bagi hakim yang melakukan pidana korupsi. "Ini
jabatan paling tinggi, pidana mati akan memberi efek jera. Nanti serahkan pada
hakim, mau dipenuhi atau tidak."
Sejalan
dengan hal tersebut, Ketua DPR RI Marzuki Alie mengaminkan apa yang diungkapkan
oleh Jimly Asshidiqqie. Sebagaimana ungkapannya "Ya setuju, kalau penegak
hukum langgar hukum maka hukumnya dobel.” Ada lagi beberapa tokoh seperti Gede
Pasek Suardika mantan Ketua Komisi III DPR RI, juga menyetujui ungkapan Jimly.
Dan ketua KPK Abraham Samad juga mempunyai pendapat yang sama.
Akan
tetapi, ada beberapa pendapat yang menyatakan bahwa hukuman mati tidak tepat
bila diberikan kepada Akil Mochtar. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Tama S
Langkun dari Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai bahwa Ketua MK-nonaktif
Akil Mochtar tidak dapat dituntut hukuman mati atas kasus dugaan suap yang
menjeratnya. Karena menurutnya, secara hukum, Akil hanya dikenakan pasal 12c UU
Tipikor juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP atau Pasal 6 Ayat 2 jo Pasal 55 Ayat 1
ke-1 KUHP. Pasal itu hanya dapat menjatuhkan hukuman penjara minimal 4 tahun
dan maksimal 20 tahun.
Selain
itu, ada seorang pakar hukum dari Universitas Islam Indonesia (UII) yang
bernama Muzakir, yang menanggapi perihal hukuman mati ini. Ia menyatakan bahwa
bila Akil Mochtar di beri hukuman mati, maka itu merupakan bentuk penzaliman.
"Kita memang tidak sepakat dengan tindakan yang dilakukan oleh Akil
Muchtar soal dugaan suap, tapi hukuman mati terlalu berlebihan, dan tidak ada
dasar hukumnya."
Demikianlah
perbedaan pendapat dari beberapa tokoh terkait hukuman yang pantas untuk Akil
Mochtar. Karena negara kita adalah negara hukum, tentu kita harus mau tidak mau
harus serahkan kepada mekanisme hukum yang berlaku, yang jelas bila pada
akhirnya Akil Mochtar memang bvenar-benar terbukti bersalah, tentu hukuman
harus setimpal dengan perbuatan yang dilakukan, jangan sampai nanti semakin
menambahkan kekecewaan publik karena tidak seimbangnya hukuman dengan perbuatan
yang dilakukan.
Penganti Undang-Undang (Perpu) MK,
solutif-kah?
Ketika
kasus suap yang menimpa Akil Mochtar ini mencuat ke publik, maka SBY secara
spontan mengusulkan Perpu MK, dengan pertimbangan untuk mengembalikan
kepercayaan MK kepada publik. Ada beberapa pendapat yang menyatakan setuju
dengan Perpu ini, namun banyak juga yang tidak menyetujuinya.
Dalam
kelompok yang setuju, ada tokoh yang bernama Surya Paloh yang merupakan ketua
umum Partai Nasional Demokrat (Nasdem), menyatakan bahwa "Penerbitan Perpu
penyelamatan MK merupakan hak presiden. Kita mendukung Perpu tersebut.” Dia
juga mengatakan bahwa hampir semua institusi resmi yang ada di negara ini sudah
melakukan praktik korupsi. Artinya Perpu memang perlu untuk dilakukan.
Sedangkan pada kelompok yang
tidak setuju sangat banyak sekali, seperti yang diungkapkan oleh Direktur
Lingkar Madani untuk Indonesia (LIMA) Ray Rangkuti, menilai, tidak ada ukuran
yang jelas bagaimana menilai publik kecewa atau tidak terhadap MK. "LIMA
menilai alasan ini sesuatu yang tak jelas alat ukurnya. Tentu saja ada
kekecewaan atau bisa juga muncul ketidakpercayaan pada putusan MK, tapi
bagaimana mengukur kadar kekecewaan itu telah sampai ke tahap situasi
bangsa dalam keadaan genting," seperti berita yang dilansir oleh JPNN.com.
Tentangan yang sama juga muncul dari Ketua Setara Institute, Hendardi. Ia
mengatakan bahwa SBY mengambil momen untuk menguntungkan dirinya. "SBY
mengambil untung di tengah kisruh dan ketegangan situasi politik. Bahkan dengan
Perpu, SBY justru memantik kekisruhan baru, jika DPR RI menolak atau Perpu
kemudian malah diujimeterikan di MK.”
Selang dua minggu pasca terjadi
OTT tersebut, walaupun banyak tentangan namun akhirnya SBY menerbitkan Perpu
Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2003 Tentang Mahkamah Konstitusi (Perpu MK). Namun hal ini justru semakin
menuai tentangan dari seorang pakar hukum tata negara dikarenakan rentang waktu
yang terlalu lama sehingga tidak relevan lagi bila alasannya ingin
mengembalikan kepercayaan publik terhadap MK, dia adalah Yusril Ihza Mahendra.
Ia megatakan bahwa "Perpu tentang MK ini terlalu lama baru diterbitkan
oleh Presiden terhitung sejak ditangkapnya Ketua MK Akil Mochtar tanggal 2
Oktober yang lalu. Tenggang waktu lebih dua minggu itu menyebabkan unsur
kegentingan yang memaksa, yang menjadi dasar diterbitkannya Perpu, menjadi
hilang.”
Namun Yusril juga mengungkapkan
bahwa, karena Perpu sudah diterbitkan oleh Presiden, maka "nasib"
Perpu tersebut kini tergantung pada DPR. Apakah akan mensahkannya menjadi UU
atau menolaknya. "Kalau DPR
menolaknya, maka Perpu tersebut harus dicabut. Presiden harus ajukan RUU baru
untuk merubah UU MK ke DPR untuk dibahas.”
Semoga DPR dalam hal ini bisa
benar-benar tepat dalam membuat keputusan, sehingga hasilnya benar-benar
memberikan kemaslahatan bagi bangsa Indonesia. Bukan karena faktor kepentingan
pribadi, golongan dan partai politik. Melainkan karena masa depan negara.
Perenungan : Suap menyuap yang
membudaya?
Budaya
suap menyuap yang berkembang di negeri ini sebenarnya merupakan efek dari “kesemrawutan
tatanan hukum dan birokrasi yang ada di Indonesia”. Budaya ini sebenarnya juga
begitu marak terjadi disetiap lapisan masyarakat, baik itu dalam level
kelurahan, kecamatan bahkan sampai pada level Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) seperti
yang terjadi hari ini. Suap menyuap dikalangan masyarakat itu biasanya dikenal
dengan nama salam tempel, uang lelah, uang rokok, uang kopi, dan lain
sebagainya. Dan hal ini biasa terjadi saat masyarakat hendak mengurus sesuatu
yang berhubungan dengan lembaga pemerintahan yang mengurusi hukum dan
lain-lain. Model-model suap seperti ini marak terjadi, walaupun secara hukum jelas-jelas sangat
dilarang.
Lantas
muncul sebuah pertanyaan, “bila kondisinya demikian berarti masyarakat ikut
bersalah?”
Jawabnya,
“Tidak”. Yang patut disalahkan dalam hal ini adalah sistem hukum dan birokrasi
yang diterapkan di negeri ini, karena telah memberikan peluang untuk melahirkan
kondisi yang demikian. Disamping itu, lemahnya kontrol penegakan hukum dan
transparansi birokrasi yang ada di negeri ini juga menjadi faktor pendukung atas realitas itu.
Lemahnya kontrol Hukum, solusi?
Adanya
hukum karena adanya manusia, artinya hukum adalah untuk manusia. Hukum bisa
difungsikan untuk melindungi kepentingan manusia, agar kepentingan banyak manusia
dapat terlindungi tentu hukum harus ditegakkan se-adil-adil-nya. Dan untuk
membuat hukum itu benar-benar nyata melindungi kepentingan manusia, maka
penegakkannya juga harus meliputi tiga aspek yakni adanya kepastian hukum,
kemanfaatan dan keadilan.
Orang-orang
yang ada dalam lembaga-lembaga hukum yang ada harus terus berusaha untuk
mengembalikan kepercayaan publik. Agar dengannya negeri yang sudah susah payah
di bangun oleh para pejuang-pejuang dahulu bisa terus berdiri sampai kebanyak
generasi.
Sumber
;
1. Detik.com
2. Sindonews.com
3. Kompas.com
4. Okezone.com
5. Zul
Akrial, 2005. ‘Kegelisahan Intelektual”. Pekanbaru : UIR Press
6. Tri
Anggara Putra, 2005. “Kekuatan Hukum dari Mahkamah Konstitusi yang bersifat
mengikat”. Jakarta : UI
Posting Komentar