Selamat Datang di Website Setiyono

Anda Penjejak Ke:


Laporan Khusus IV

Senin, 21 Oktober 20130 komentar



Runtuhnya Tiang MK..!!
Oleh : Setiyono
(Political Analyst dan Aktivis KAMMI)
Mahkamah Konstitusi                                    
Di banyak negara, keberadaan Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan unsur terpenting dalam negara yang menganut sistem hukum modern. Dan kebanyakan, negara-negara yang membentuk MK merupakan negara yang baru mengalami peralihan, dari sistem otoriter, diktator, menuju ke sistem Demokratis sebagaimana yang di terapkan di negara-negara baru dunia.
Sedangkan di Indonesia sendiri, MK merupakan lembaga negara yang memiliki peran sangat strategis bagi penegakan hukum di Indonesia. Pasalnya, lembaga ini berwenang untuk mengadili segala bentuk permasalahan yang berkaitan dengan konstitusi negeri ini (Pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, Sengketa Pilkada, Pembubaran Partai, dan bahkan Impeachment terhadap Presiden), baik diawal permasalahan maupun sampai di akhir permasalahan semua ditangani oleh lembaga ini. Dan setiap putusan yang dihasilkan olehnya bila mengacu kepada sistem bernegara kita, maka semuanya dianggap putusan final, tetap dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh (inkracht van gewijsde) untuk mengagalkan putusan tersebut. Hal ini termaktub dalam pasal 24 ayat 2 , dan pasal 24 C Undang-Undang Dasar 1945 tentang Kedudukan, Kewenangan, dan Kewajiban Mahkamah Konstitusi. Selain itu juga diatur dalam Undang-Undang No 24 Tahun 2003.
MK mulai terbentuk sejak disepakatinya Undang-Undang Dasar 1945 yang disahkan pada 10 Agustus 2002, dan keberadaannya sampai tahun 2013 ini telah mempengaruhi dengan sangat signifikan mengenai setiap putusan hukum dan ketatanegaraan di Indonesia. Putusan-putusannya banyak mengejutkan publik dan tak jarang sering mendapatkan acungan jempol karena terkesan berani dan tegas. Setiap keputusan yang dihasilkan oleh MK adalah final, maka semua pihak yang terkait dalam putusan itu mau tidak mau, suka-tidak suka harus melaksanakan putusan tersebut. Bahkan saking kuatnya pengaruh MK terhadap putusan hukum di negeri ini, mampu mengalahkan semua putusan-putusan hukum lain walaupun itu sudah mulai dilaksanakan, dan bila kenyataannya bertentangan dengan putusan MK, maka yang menjadi dasar hukum adalah putusan MK dan putusan hukum lainnya menjadi termentahkan. Begitulah kekuatan MK dalam sistem negara kita. Yang bila kita lihat gedungnya ada sembilan tiang yang besar dan gagah, yang menyimbolkan bahwa hakim MK ada sembilan orang yang merupakan orang yang suci (katanya) dalam penegakan hukum.
Tiang itu mulai runtuh !!
Rabu 2 Oktober 2013, masyarakat Indonesia dikejutkan dengan berita penangkapan seorang ketua MK yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dalam kasus suap sengketa Pemilihan Kepala Daerah.
Dialah yang kita kenal dengan nama Akil Mochtar sang ketua MK, yang ditangkap oleh KPK bersama dengan Anggota DPR Chairun Nisa dan seorang pengusaha Cornelis Nalau. Selain itu, Tubagus Chaery Wardana alias Wawan yang merupakan adik dari Gubernur Banten Ratu Atut dan beberapa orang lainnya juga diamankan KPK. Kasus suap tersebut memang benar-benar telah mencoreng lembaga yang merupakan benteng konstitusi negeri ini. Terlepas nanti dapat dibuktikan atau tidak kebenarannya itu soal lain. Yang jelas, informasi terkait operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan oleh KPK kepada Akil Mochtar ini sudah tersebar luas di media dan ditonton oleh jutaan pasang mata baik dalam tataran nasional maupun internasional. Hal ini tentunya memberikan efek negatif terhadap tingkat kepercayaan publik kepada seluruh lembaga hukum yang ada di Indonesia.
Jika sebelumnya ada “Adagium” publik yang berbunyi  “setiap putusan hakim harus dianggap benar”, sepertinya semakin tidak relevan lagi untuk tertanam dalam benak publik. Dan hari ini adagium yang muncul menurut penulis justru demikian “bahwa lembaga hukum itu penuh dengan permainan yang sudah diatur sedemikian rupa dan orang-orang didalam lembaga hukum itu sudah tidak lagi seperti malaikat melainkan hanya manusia-manusia biasa”. Hingga pada akhirnya muncullah sebuah pemakluman bahwa “bila suatu waktu aparatur penegak hukum melakukan kesalahan, maka itu diangggap sebagai sesuatu yang biasa-biasa saja”. Ketika pemakluman itu sudah ada dalam benak publik, maka sulit dibayangkan bagaimana model penegakan hukum di Indonesia.
Narkotika di ruang kerja Akil Mochtar?
Selain menangkap Akil Mochtar, penyidik KPK juga menemukan narkoba di ruang kerja Ketua MK-nonaktif itu. Temuan itu berupa ganja dan dua butir ekstasi yang ada dalam bungkus rokok. Hal ini tentunya semakin menambah kekecewaan publik terhadap institusi MK itu sendiri, dan semakin menguatkan penilaian publik bahwa banyak pejabat negeri ini yang sudah hancur moralitasnya.  Walaupun sampai sejauh ini belum bisa dibuktikan siapa gerangan yang memiliki barang haram tersebut dan siapa yang mengunakannya. Karena hasil pemeriksaan dari Badan Narkotika Nasional (BNN) terhadap Akil Mochtar adalah negatif bahwa ketua MK-nonaktif itu tidak mengunakan narkoba.
Sampai saat ini, BNN masih terus melakukan penyelidikan untuk mengetahui asal muasal narkotika itu. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Kepala Humas BNN Kombes Sumirat Dwiyanto, "Kami akan tindak lanjuti soal ini. Bagaimana barang itu bisa ada di sana”.
Kita tentunya berharab agar BNN bisa segera menguak misteri dari narkotika itu, sehingga tanda tanya publik segera terjawab. Dan barang siapa yang terlibat kepemilikan ataupun mengunakan narkotika itu, tentunya harus di hukum sesuai dengan aturan yang berlaku. Bila pada kenyataannya Akil Mochtar yang memilikinya, maka dia harus dijerat dengan pasal yang berlapis, suap dengan kepemilikan narkotika tentunya.  
Dalam hal ini BNN dan Polri tentunya harus terus bekerja sama, karena boleh jadi bila pada kenyataannya itu bukan milik Akil Mochtar ataupun bukan milik pegawai MK, maka bisa saja barang tersebut sengaja di letakkan oleh oknum tertentu untuk semakin memperkeruh suasana. Dan ini menjadi teka-teki yang harus dipecahkan oleh BNN dan Polri.  
Hukuman Mati Untuk Akil Mochtar?
Operasi tangkap tangan (OTT) yang melibatkan Akil Mochtar ini tentunya membuat wibawa MK runtuh dan nyaris amblas kedasar bumi. Hal ini sontak mengusik para tokoh-tokoh nasional untuk bersuara dan mengutuk Akil Mochtar, bahkan ada beberapa tokoh yang menyatakan bahwa Akil Mochtar harus di hukum mati.
Seperti Jimly Asshidiqqie yang merupakan mantan ketua MK, ia mengungkapkan bahwa “KPK harus berani menempatkan tuntutan pidana mati”.  Pertimbangannya adalah MK merupakan lembaga hukum tertinggi, tentu hukuman harus maksimal bagi hakim yang melakukan pidana korupsi. "Ini jabatan paling tinggi, pidana mati akan memberi efek jera. Nanti serahkan pada hakim, mau dipenuhi atau tidak."
Sejalan dengan hal tersebut, Ketua DPR RI Marzuki Alie mengaminkan apa yang diungkapkan oleh Jimly Asshidiqqie. Sebagaimana ungkapannya "Ya setuju, kalau penegak hukum langgar hukum maka hukumnya dobel.” Ada lagi beberapa tokoh seperti Gede Pasek Suardika mantan Ketua Komisi III DPR RI, juga menyetujui ungkapan Jimly. Dan ketua KPK Abraham Samad juga mempunyai pendapat yang sama.
Akan tetapi, ada beberapa pendapat yang menyatakan bahwa hukuman mati tidak tepat bila diberikan kepada Akil Mochtar. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Tama S Langkun dari Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai bahwa Ketua MK-nonaktif Akil Mochtar tidak dapat dituntut hukuman mati atas kasus dugaan suap yang menjeratnya. Karena menurutnya, secara hukum, Akil hanya dikenakan pasal 12c UU Tipikor juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP atau Pasal 6 Ayat 2 jo Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP. Pasal itu hanya dapat menjatuhkan hukuman penjara minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun.
Selain itu, ada seorang pakar hukum dari Universitas Islam Indonesia (UII) yang bernama Muzakir, yang menanggapi perihal hukuman mati ini. Ia menyatakan bahwa bila Akil Mochtar di beri hukuman mati, maka itu merupakan bentuk penzaliman. "Kita memang tidak sepakat dengan tindakan yang dilakukan oleh Akil Muchtar soal dugaan suap, tapi hukuman mati terlalu berlebihan, dan tidak ada dasar hukumnya."
Demikianlah perbedaan pendapat dari beberapa tokoh terkait hukuman yang pantas untuk Akil Mochtar. Karena negara kita adalah negara hukum, tentu kita harus mau tidak mau harus serahkan kepada mekanisme hukum yang berlaku, yang jelas bila pada akhirnya Akil Mochtar memang bvenar-benar terbukti bersalah, tentu hukuman harus setimpal dengan perbuatan yang dilakukan, jangan sampai nanti semakin menambahkan kekecewaan publik karena tidak seimbangnya hukuman dengan perbuatan yang dilakukan. 
Penganti Undang-Undang (Perpu) MK, solutif-kah?
Ketika kasus suap yang menimpa Akil Mochtar ini mencuat ke publik, maka SBY secara spontan mengusulkan Perpu MK, dengan pertimbangan untuk mengembalikan kepercayaan MK kepada publik. Ada beberapa pendapat yang menyatakan setuju dengan Perpu ini, namun banyak juga yang tidak menyetujuinya.
Dalam kelompok yang setuju, ada tokoh yang bernama Surya Paloh yang merupakan ketua umum Partai Nasional Demokrat (Nasdem), menyatakan bahwa "Penerbitan Perpu penyelamatan MK merupakan hak presiden. Kita mendukung Perpu tersebut.” Dia juga mengatakan bahwa hampir semua institusi resmi yang ada di negara ini sudah melakukan praktik korupsi. Artinya Perpu memang perlu untuk dilakukan.
Sedangkan pada kelompok yang tidak setuju sangat banyak sekali, seperti yang diungkapkan oleh Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia (LIMA) Ray Rangkuti, menilai, tidak ada ukuran yang jelas bagaimana menilai publik kecewa atau tidak terhadap MK. "LIMA menilai alasan ini sesuatu yang tak jelas alat ukurnya. Tentu saja ada kekecewaan atau bisa juga muncul ketidakpercayaan pada putusan MK, tapi bagaimana mengukur kadar kekecewaan  itu telah sampai ke tahap situasi bangsa dalam keadaan genting," seperti berita yang dilansir oleh JPNN.com. Tentangan yang sama juga muncul dari Ketua Setara Institute, Hendardi. Ia mengatakan bahwa SBY mengambil momen untuk menguntungkan dirinya. "SBY mengambil untung di tengah kisruh dan ketegangan situasi politik. Bahkan dengan Perpu, SBY justru memantik kekisruhan baru, jika DPR RI menolak atau Perpu kemudian malah diujimeterikan di MK.”
Selang dua minggu pasca terjadi OTT tersebut, walaupun banyak tentangan namun akhirnya SBY menerbitkan Perpu Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi (Perpu MK). Namun hal ini justru semakin menuai tentangan dari seorang pakar hukum tata negara dikarenakan rentang waktu yang terlalu lama sehingga tidak relevan lagi bila alasannya ingin mengembalikan kepercayaan publik terhadap MK, dia adalah Yusril Ihza Mahendra. Ia megatakan bahwa "Perpu tentang MK ini terlalu lama baru diterbitkan oleh Presiden terhitung sejak ditangkapnya Ketua MK Akil Mochtar tanggal 2 Oktober yang lalu. Tenggang waktu lebih dua minggu itu menyebabkan unsur kegentingan yang memaksa, yang menjadi dasar diterbitkannya Perpu, menjadi hilang.”
Namun Yusril juga mengungkapkan bahwa, karena Perpu sudah diterbitkan oleh Presiden, maka "nasib" Perpu tersebut kini tergantung pada DPR. Apakah akan mensahkannya menjadi UU atau menolaknya.  "Kalau DPR menolaknya, maka Perpu tersebut harus dicabut. Presiden harus ajukan RUU baru untuk merubah UU MK ke DPR untuk dibahas.”
Semoga DPR dalam hal ini bisa benar-benar tepat dalam membuat keputusan, sehingga hasilnya benar-benar memberikan kemaslahatan bagi bangsa Indonesia. Bukan karena faktor kepentingan pribadi, golongan dan partai politik. Melainkan karena masa depan negara.
Perenungan : Suap menyuap yang membudaya?
Budaya suap menyuap yang berkembang di negeri ini sebenarnya merupakan efek dari “kesemrawutan tatanan hukum dan birokrasi yang ada di Indonesia”. Budaya ini sebenarnya juga begitu marak terjadi disetiap lapisan masyarakat, baik itu dalam level kelurahan, kecamatan bahkan sampai pada level Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) seperti yang terjadi hari ini. Suap menyuap dikalangan masyarakat itu biasanya dikenal dengan nama salam tempel, uang lelah, uang rokok, uang kopi, dan lain sebagainya. Dan hal ini biasa terjadi saat masyarakat hendak mengurus sesuatu yang berhubungan dengan lembaga pemerintahan yang mengurusi hukum dan lain-lain. Model-model suap seperti ini marak terjadi,  walaupun secara hukum jelas-jelas sangat dilarang.     
Lantas muncul sebuah pertanyaan, “bila kondisinya demikian berarti masyarakat ikut bersalah?”
Jawabnya, “Tidak”. Yang patut disalahkan dalam hal ini adalah sistem hukum dan birokrasi yang diterapkan di negeri ini, karena telah memberikan peluang untuk melahirkan kondisi yang demikian. Disamping itu, lemahnya kontrol penegakan hukum dan transparansi birokrasi yang ada di negeri ini juga  menjadi faktor pendukung atas realitas itu.
Lemahnya kontrol Hukum, solusi?                          
Adanya hukum karena adanya manusia, artinya hukum adalah untuk manusia. Hukum bisa difungsikan untuk melindungi kepentingan manusia, agar kepentingan banyak manusia dapat terlindungi tentu hukum harus ditegakkan se-adil-adil-nya. Dan untuk membuat hukum itu benar-benar nyata melindungi kepentingan manusia, maka penegakkannya juga harus meliputi tiga aspek yakni adanya kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan.  
Orang-orang yang ada dalam lembaga-lembaga hukum yang ada harus terus berusaha untuk mengembalikan kepercayaan publik. Agar dengannya negeri yang sudah susah payah di bangun oleh para pejuang-pejuang dahulu bisa terus berdiri sampai kebanyak generasi. 
Sumber ;
1.      Detik.com
2.      Sindonews.com
3.      Kompas.com
4.      Okezone.com
5.      Zul Akrial, 2005. ‘Kegelisahan Intelektual”. Pekanbaru : UIR Press
6.      Tri Anggara Putra, 2005. “Kekuatan Hukum dari Mahkamah Konstitusi yang bersifat mengikat”. Jakarta : UI
Silahkan share artikel ini : :

Posting Komentar

 
Web ini dikembangkan oleh PUSAT MULTIMEDIA
Template Created by Creating Website Modify by CaraGampang.Com
Proudly powered by Blogger