Oleh : Setiyono
(Di sampaikan pada kajian BEM FKIP UNRI, senin 12 November 2012)
Berdasarkan catatan sejarah, hari
pahlawan jatuh pada 10 november, semua bermula ketika tentara NICA dari inggris
hendak menguasai daerah jawa, tepatnya saat itu disurabaya. Dr. Soetomo, KH.
Hasyim ashari dan tokoh-tokoh bangsa lainnya melakukan perlawanan tepat pada
tanggal 10 november 1945. Dan pada tahun 1955 saat kepemimpinan presiden
soekarno, tanggal 10 November itu ditetapkan sebagai hari pahlawan, hingga
sampai saat ini terus diperingati. Nah pertanyaan sekarang adalah BAGAIMANAKAH
kita harus memaknai 67 tahun peringatan hari pahlawan ini? Rasa-rasanya, bagi kebanyakan orang saat ini,
sebuah perayaan sebagai bentuk parade sukacita bukanlah pilihan. Tentu tak mungkin
menabuh gendang dan menari di kala rakyat masih dibelenggu oleh ancaman
kesulitan hidup yang semakin menyesakkan hari demi hari.
Mungkin sebuah perenungan akan lebih
tepat. Perenungan untuk mencari di manakah hilangnya jejak-jejak semangat
perjuangan para pahlawan itu saat ini, hal
ini akan lebih bermakna di tengah semakin sirnanya asa akibat perhelatan
tekanan kehidupan karena tersanderanya republik, tersandera maksudnya disini
adalah semakin kuatnya dominasi asing di republik ini, baik ditinjau dari sisi
ekonomi, politik, maupun budaya.
67 tahun yang lalu, gelora semangat
perjuangan itu sangat jelas diperlihatkan oleh para pejuang-pejuang bangsa masa
itu, dan mereka menemukan semangat ditengah himpitan realitas, yakni adanya
penindasan secara rill dari orang-orang asing.
Kita pun kini mencoba mengikuti jejak mereka mencari momentum yang sama
di tengah pengisapan neoliberalisme, kapitalisme, dan isme-isme negatif
lainnya. Namun, di manakah kita harus mulai? Itu adalah pertanyaan yang mesti
kita jawab bersama.
Siapa itu pahlawan?
Apakah yang dulu berjuang sampai
titik darah penghabisan untuk republik ini, dan mereka mati lantas dimakamkan
di taman makam pahlawan? Tidak harus seperti itu. Anis Matta dalam bukunya yang berjudul
Mencari Pahlawan Indonesia, menjelaskan bahwa “Pahlawan bukanlah orang suci
dari langit yang diturunkan kebumi untuk menyelesaikan persoalan manusia dengan
mukjizat, secepat kilat untuk kemudian kembali kelangit. Pahlawan adalah orang
biasa yang melakukan pekerjaan-pekerjaan besar, dalam sunyi yang panjang,
sampai waktu mereka habis”. Mereka tidak harus dicatat dalam buku sejarah. Atau
dimakamkan di Taman Makam Pahlawan. Mereka juga melakukan kesalahan dan dosa.
Mereka bukan malaikat. Mereka hanya manusia biasa yang berusaha memaksimalkan
seluruh kemampuannya untuk memberikan yang terbaik bagi orang-orang di
sekelilingnya. Dan itulah pahlawan. Apakah kita termasuk orang yang seperti
itu? Hanya hati jujur dan diri kita sendiri yang bisa menjawabnya.
Sejak dahulu hingga saat ini,
bangsa kita tetap membutuhkan pahlawan. Demi untuk nasib bangsa dimasa yang
akan datang. Dan generasi hari ini adalah harapan bangsa, yang bersedia untuk
melakukan kerja-kerja besar demi untuk masa depan bangsa ini.
Menumbuhkan
Nasionalisme
Sesuatu yang tidak mudah untuk kita
mencari metode bagaimana cara menumbuhkan NASIONALISME di tengah era
globalisasi seperti sekarang. Globalisasi, neoliberalisme, dan kapitalisme
sudah sangat kokoh sehingga tidak mudah untuk ditembus, kita membutuhkan
cara-cara yang jauh lebih efektif dan efisien demi untuk menembus dinding itu.
Kita sama-sama menyadari bahwa
masyarakat indonesia sangat plural sekali, sehingga membutuhkan sebuah momentum
untuk memicu kebangkitan rasa nasionalisme itu secara menyeluruh. Jika dahulu
momentumnya adalah Indonesia merdeka dari jajahan, sehingga itu mudah untuk
memicu nasionalisme rakyat yang plural ini, namun saat ini bangsa kita
cenderung memiliki banyak momentum, sehingga sulit untuk menjadikan mana
momentum wahid yang harus dijadikan sebagai musuh bersama rakyat. Momentum yang
banyak itu adalah, korupsi, pelanggaran HAM, supremasi hukum, penguasaan asing,
dan lain sebagainya. Itu artinya bangsa ini masih merdeka secara dejure dan
defacto, tapi secara realitas belum merdeka. Seharusnya kesadaran bahwa bangsa
kita belum merdeka secara realitas inilah yang harus dijadikan sebagai momentum
untuk menumbuhkan rasa nasionalisme itu. Sehingga dengan demikian, terkhusus
bagi kita para pemuda-pemudi senantiasa aktif untuk melakukan kerja-kerja yang
memiliki ending ataupun goal setting kebaikan bagi masyarakat bangsa. Dan
senantiasa juga aktif untuk menyuarakan segala permasalahan-permasalahan yang
membuat bangsa ini dirundung dilema, seperti korupsi, kapitalisme, dan lain
sebagainya.
Pembentukan
karakter bangsa
Apa itu karakter?
Erie sudewo dalam bukunya yang
berjudul “Character building”, mengatakan bahwa karakter merupakan kumpulan
dari tingkah laku baik dari seorang manusia. Sedangkan ketika seseorang suka
melakukan hal yang tidak baik, maka ia tidak memiliki karakter, dan itu yang dinamakan
tabiat.
Begitu halnya dengan masyarakat
bangsa, ketika mereka cenderung suka melakukan kebaikan, maka masyarakat bangsa
itu memiliki karakter. Begitupun sebaliknya. Namun yang menjadi masalah
sekarang adalah, bangsa kita saat ini tidak lagi memiliki karakter. Kalau dulu
bangsa kita ini pernah terkenal sebagai bangsa yang tegas terhadap imperialisme
asing yang dibuktikan dengan sikap soekarno yang menolak imperialisme masuk
kebangsa ini. Dan juga terkenal sebagai bangsa pendidik bagi bangsa lain, hal
ini dibuktikan dengan banyaknya guru-guru dari Indonesia yang mengajar ke
malaysia pada periode 70 an.
#Kenapa
bangsa ini tidak lagi memiliki karakter?
Karena
Pemerintah kita saat ini tidak memiliki karakter, padahal salah satu cara untuk
menumbuhkan karakter dalam tataran grass root adalah adanya percontohan dari
atas, atau dengan bahasa lain “top down”. Pemerintah kita cenderung suka
bermewah-mewahan, tanpa memikirkan nasib bangsa dimasa yang akan datang. Perlu
bagi kita untuk mengetahui sedikit kisah hidup salah satu tokoh revolusi negeri
ini, yakni Mohammad Hatta. Ia adalah seorang Negarawan sejati yang pernah
dimiliki oleh negeri ini, ia pernah menduduki berbagai jabatan strategis
distruktur Pemerintahan pada masa orde baru, tapi bagaimana kondisi hidupnya
ketika ia sudah tidak lagi memegang jabatan sebagai wakil Presiden pertama
Republik ini “menjadi rakyat biasa” ia tidak bisa menghidupi keluarganya yang
beranggotakan lima orang yakni anak dan istrinya, beruntung banyak
rekan-rekannya yang membantu. Memang ketika ia memutuskan untuk melepaskan
jabatannya sebagai wakil Presiden, banyak tawaran dari berbagai perusahaan
untuk menjadikan dirinya sebagai komisaris, tapi kesemuanya ditolak dan ia
mengatakan “apa kata rakyat nanti” (baca;
Mohammad Hatta, hati nurani bangsa. Prof. Dr. Deliar Noer). Kesederhanaan
yang ditampilkan sangat jauh berbeda dengan kondisi kehidupan pejabat-pejabat
kita saat ini, sehingga dengan karakter yang demikian ia mampu menjadi salah
satu tokoh penting bagi kemerdekaan Republik Indonesia.
Kita
mengharabkan karakter tidak hanya dimiliki oleh pelaku-pelaku perjuangan negeri
ini, tetapi juga dimiliki oleh pejabat saat ini dan juga rakyat yang menjadi
unsur utama dalam keberlangsungan suatu bangsa. Melihat realitas demikian,
menjadi tugas bagi seluruh warga negara yang senantiasa aktif memperhatikan
nasib bangsa ini, untuk menumbuhkan dan mendidik warga lainnya agar senantiasa
mereka memiliki karakter, sehingga kepemimpinan kedepan akan diisi oleh
orang-orang yang berkarakter (bottom up).
Terlebih
lagi untuk para pemuda dan pemudi yang menjadi harapan bangsa ini.
Salam
hangat.
#Sumber
: 1. Ahmad Mansyur Suryanegara, 2010. “Api Sejarah II”
2. Anis Matta, 2004. “Mencari Pahlawan
Indonesia”. Jakarta : The tarbawi center
3.
Erie Sudewo, 2011. “Best Practice : Character Building”. Jakarta : Republika
4. Prof. Dr. Deliar Noer, 2012. “Mohammad
Hatta”. Jakarta : Kompas
5.
Budiman Sujadmiko, 2008. “Peta Jalan Kebangkitan Indonesia”.
Posting Komentar