Sumber : Cahyadi takariawan
Pada saat engkau merasa terasing dari dakwah dan jama’ah, pada saat
engkau merasa resah karena tengah mendapat suatu uqubah, akan banyak
ajakan mendatangimu. Banyak suara-suara pembelaan, suara simpatik, suara
empati, suara yang mengajakmu berpaling dari dakwah dan jama’ah. Ada
banyak tawaran yang bisa membuatmu berpikir ulang atas janji setia di
jalan dakwah.
“Anda itu tokoh yang luar biasa. Mengapa organisasi anda tega memperlakukan anda seburuk ini?”
“Anda tidak layak mendapat perlakuan seperti ini. Jelas ini satu
kesalahan dari organisasi anda yang tidak bisa menempatkan posisi anda
pada tempat yang semestinya. Kami lebih bisa menempatkan anda pada
posisi yang istimewa”.
“Pemimpin anda tidak adil. Bukankah banyak orang melakukan kesalahan
yang sama, namun mengapa mereka tidak dihukum ? Mengapa hanya anda yang
mendapat hukuman? Ini jelas suatu kezaliman”.
“Bergabunglah bersama kami. Sebagaimana anda, kami dulu juga aktivis,
namun dikecewakan. Mari bergabung dalam kumpulan kekecewaan”.
Dan sangat banyak tawaran posisi, jabatan, kedudukan, kemuliaan yang
diberikan kepadamu. Pastilah engkau memiliki sesuatu yang sangat
menarik, karena senioritas di pergerakan dakwah, dan peranmu selama ini
dalam dinamika organisasi dakwah. Engkau dianggap memiliki daya panggil
yang cukup kuat, untuk kepentingan apapun yang diinginkan orang atau
pihak lain terhadapmu.
Berhati-hatilah atas berbagai macam ajakan itu. Tetaplah berpegang dan konsisten dengan dakwah dan jama’ah.
Ajakan Itu Adalah Ujian
Ingatlah bahwa berbagai macam ajakan itu menjadi ujian baru bagimu.
Pada kondisi engkau memerlukan teman berbagi, engkau memerlukan
pengakuan dan apresiasi, muncullah ajakan dan tawaran itu. “Bergabunglah
kepada kami. Untuk apa anda masih mengikuti organisasi yang tidak bisa
memberikan tempat terhormat bagi orang sekelas anda”. Waspada, jangan
terprovokasi oleh suara merdu itu.
“Pada suatu hari, aku berjalan-jalan ke pasar kota Madinah. Tiba-tiba
datanglah orang awam dari negeri Syam. Orang itu biasanya mengantarkan
dagangan pangan ke kota Madinah. Ia bertanya, ‘Siapakah yang mau
menolongku menemui Ka’ab bin Malik?”
“Orang-orang di pasar itu menunjuk kepadaku, lalu orang itu datang
kepadaku dan menyerahkan sepucuk surat kepadaku dari Raja Ghassan”.
Luar biasa perhatian Raja Ghassan terhadap Ka’ab bin Malik. Pada
posisinya yang sulit karena tengah menjalani hukuman dari Nabi saw dan
para sahabat, seorang raja memberikan perhatian khusus kepadanya. Pada
saat semua orang tidak ada yang peduli kepadanya, ternyata masih ada
orang yang menyapanya, bahkan ia adalah Raja. Pada saat saudara dekatnya
pun tidak mau berbicara dengannya, ternyata masih ada orang peduli
kepada nasibnya.
Raja Ghassan, apa yang ia inginkan dari Ka’ab, sampai mengutus orang untuk memberikan surat kepadanya ?
“Setelah kubuka, isinya sebagai berikut : …..Selain dari itu, bahwa
sahabatmu sudah bersikap dingin terhadapmu. Allah tidak menjadikan kau
hidup terhina dan sirna. Maka, ikutlah dengan kami di Ghassan, kami akan
menghiburmu!”
Luar biasa menarik tawaran itu. Bukankah Ka’ab tengah memerlukan
hiburan, karena dirundung kesedihan mendalam ? Bukankah Ka’ab tengah
memerlukan teman untuk berbagi, tengah memerlukan sedikit perhatian,
pengakuan dan apresiasi ? Saat komunitas para sahabat tidak memberikan
itu kepadanya, ternyata perhatian, pengakuan dan apresiasi justru datang
dari Raja Ghassan.
Untunglah yang mendapatkan surat ajakan itu Ka’ab bin Malik, seorang
mujahid yang hebat. Ia bukan orang yang mudah dibujuk dan dirayu. Ia
bukan orang yang mudah diajak melakukan pembangkangan. Tidak ada
ungkapan pembandingan dari Ka’ab, “Orang lain yang jauh saja mengakui
potensiku, dan memberikan perhatian kepada nasibku. Sementara
orang-orang dekatku, yang satu jama’ah denganku, justru tidak peduli
dengan diriku”.
Tidak, tidak ada kalimat seperti itu dari Ka’ab. Ia menyadari
sepenuhnya, surat Raja Ghassan itu adalah ujian berikutnya yang harus
dihadapi dengan sepenuh kesadaran dan pemahaman.
“Hatiku berkata ketika membaca surat itu, ‘Ini juga salah satu
ujian!’ Lalu aku memasukkan surat itu ke dalam tungku dan membakarnya”.
Bakar Saja Surat Raja Ghassan Itu
Sangat tegas sikap Ka’ab. Ia tidak mau menjadikan surat itu sebagai
“bergaining” posisi dengan Nabi dan para sahabat. Ia tidak mau
menjadikan surat itu sebagai ancaman untuk menaikkan posisi tawarnya di
hadapan komunitas kaum muslimin. “Kalian tahu tidak, kalau kalian tetap
menghukumku seperti ini, aku bisa meninggalkan kalian dan mendapat
posisi yang lebih baik di sisi Raja Ghassan!” Tidak, Ka’ab tidak
melakukan negosiasi dengan Nabi dan para sahabat.
Ia tidak akan bernegosiasi soal posisi dirinya. Bukan itu yang
diinginkan. Ka’ab hanya menginginkan keridhaan Allah dan RasulNya. Ka’ab
hanya ingin mendapatkan kecintaan Allah dan RasulNya. Bukan pengakuan
orang, bukan apresiasi Raja Ghassan, bukan sikap empati manusia terhadap
dirinya. Bagi Ka’ab, sikap yang harus diambil sudah final, dan ia telah
melakukan dengan tepat.
“Hatiku berkata ketika membaca surat itu, ‘Ini juga salah satu
ujian!’ Lalu aku memasukkan surat itu ke dalam tungku dan membakarnya”.
Apakah engkau juga mendapatkan ajakan dari Raja Ghassan ? Siapa Raja
Ghassan itu di zaman kita sekarang ? Jika memang engkau mendapatkan
ajakan serupa, bakar saja ajakan-ajakan menyesatkan itu. Tetaplah berada
di jalan dakwah, dan tetaplah berpegang kepada jama’ah.
Lalu engkau memasukkan surat itu ke dalam tungku dan membakarnya.
HomeTausyiah : JANGAN IKUTI AJAKAN RAJA GHASSAN
Posting Komentar