Oleh : Setiyono
Dulu
kata Individualisme hanya di sematkan kepada masyarakat yang tinggal didaerah
perkotaan, mereka yang memiliki tingkat kesibukan yang tinggi dan hunian yang
mendukung seperti komplek elit dan apartemen. Mereka hanya sibuk dengan
pekerjaan, dan cenderung enggan bersosialisasi dengan lingkungan sekitar tempat
tinggalnya. Mereka keluar dari tempat tinggal pagi hari, dan kembali ketika
hari sudah mulai petang, seharian membenam diri di ruang kerja mereka, dan
ketika pulang kondisi tubuh sudah kelelahan sehingga kasur menjadi tempat
pelabuhannya, begitulah potretnya. Sehingga dengan irama hidup yang demikian akan
menyulitkan dirinya untuk bisa bersosialisasi dengan masyarakat sekitar
huniannya.
Namun
saat ini, individualisme tidak hanya terjadi di lingkup perkotaan, melainkan
sudah menerobos masuk kedalam barisan masyarakat yang ada di pedesaan. Fakta
ini dibuktikan dengan semakin rendahnya tingkat kepedulian masyarakat desa
terhadap masalah-masalah yang berkaitan dengan kesosialan, seperti semangat
gotong royong yang dahulu menjadi karakter dari bangsa ini kini mulai memudar, contoh
kecil ketika ada infrastruktur yang rusak seperti jalan, maka masyarakat desa
saat ini lebih cenderung menunggu tindakan dari pemerintah setempat ketimbang
harus cekatan untuk sama-sama memperbaikinya, padahal mayoritas jalan di
pedesaan belumlah teraspal, secara pengerjaan masih tergolong mudah dilakukan
walaupun dengan alat sebatas cangkul. Selain itu, persatuan dikalangan para
penduduk desa semakin lama juga semakin melemah, misalnya ketika momen
peringatan hari kemerdekaan Republik Indonesia yang belum lama ini dilaksanakan,
saya yakin persentase masyarakat desa yang mau mengibarkan bendera merah putih
di depan rumah mereka tidak jauh lebih banyak dibandingkan dengan mereka yang
tidak mengibarkan. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya yang begitu semarak
ketika momen itu datang, perlahan demi perlahan keacuhan itu mulai mengikis
karakter dari struktur masyarakat desa.
Lantas
muncul pertanyaan, apa gerangan yang menjadi penyebab terciptanya potret yang
demikian?? Jawabnya adalah :
pertama,
karena adanya serangan dari kaum kapitalis dan liberal yang ingin
memporak-porandakan kesatuan dan persatuan NKRI dengan maksud agar mereka bisa
menguasai negeri ini, dengan cara-cara yang halus. Langkah-langkah mereka yang
paling menonjol adalah dengan menguasai media-media massa, dan mengemas
budaya-budaya yang notebene sangat jauh dari karakter bangsa ini dan itu semua
dilesakan kedalam rumah-rumah kita dengan penuh keterang-terangan, seperti televisi.
Bila tidak jeli dalam memilih program acara maka kita akan tercekoki dengan hal-hal
yang tidak keindonesiaan.
Kedua,
terjadinya Reuralisasi yaitu kembalinya pelaku urbanisasi ke daerah pedesaan.
hal ini juga dapat menyumbangkan virus-virus individualisme bagi masyarakat
desa, terlebih lagi buat mereka yang belum pernah sama sekali menjadi pelaku
urbanisasi. Masyarakat desa yang menjadi pelaku urbanisasi, dan menetap cukup
lama di kota secara otomatis mereka akan memiliki gaya hidup ala masyarakat
kota, seperti individualisme, walaupun tidak keseluruhan. Dan ketika mereka
kembali lagi ke desa (Reuralisasi), maka gaya hidup itu akan terlihat oleh masyarakat
desa dan besar kemungkinan untuk di tiru oleh masyarakat desa lainnya.
#Jika
realitasnya didesa sudah demikian, bagaimana diperkotaan?? Bisa anda bayangkan
sendiri.
Mendesak
kiranya bagi bangsa ini untuk revitalisasi kehidupan masyarakatnya, dan kembali
kepada karakter yang sebelumnya, yakni Religius, persatuan dan kesatuan yang
kuat, semangat gotong royong, tenggang rasa, penuh sopan santun, ramah tamah, dan
tegas terhadap sesuatu hal yang berbau penjajahan.
(Mahasiswa
Jurusan Planologi, Fakultas Teknik UIR)
Posting Komentar