Oleh
: Setiyono
Senin, 16 juli 2012.
Beberapa pekan terakhir,
saya melakukan perjalanan ke kawasan Riau pesisir (Minas, Duri, Dumai, Rohil)
untuk melakukan survey terkait dengan preferensi politik masyarakat, Sekaligus menjelajah
daerah yang menjadi salah satu sumber minyak bumi di republik ini. dua kali
saya mengunjungi daerah-daerah itu, dan menghabiskan waktu 12 hari. Dari perjalanan
itulah akhirnya saya dapat mengamati bagaimana kondisi kawasan Riau pesisir
baik itu tentang kehidupan masyarakatnya ataupun infrastruktur. Sepanjang
perjalanan mata saya selalu menyaksikan rangkaian-rangkain pipa penyalur minyak
serta pompa-pompa yang yang jumlahnya Ratusan berjenis sentrifugal penyedot
minyak mentah dari perut bumi, milik perusahaan asing yakni Chevron, sebuah
perusahaan yang sudah berada di Indonesia sejak masa penjajahan belanda yakni
tahun 1924. Waktu itu perusahaan ini belum bernama Chevron, melainkan bernama
Socal (Standard Oil Of California), dimasa penjajahan tersebut perusahaan ini
telah mengirimkan beberapa ahlinya untuk melakukan survey seismic (untuk
mengetahui kandungan minyak dan gas bumi) di wilayah sumatera dan diteruskan
dengan proses pengeboran dan ekplorasi. Pada tahun 1936 perusahaan yang bernama
Socal ini dan perusahaan yang bernama Texaco(The Texas Company) bergabung mendirikan
perusahaan yang diberi nama Caltex (California Texas Oil Company). Dimasa
perusahaan yang diberi nama Caltex yang notabene adalah perusahaan milik
Amerika Serikat, menemukan sebuah ladang minyak yang sangat komersial yaitu di
daerah Minas (salah satu daerah yang tergabung kedalam kabupaten Siak) Provinsi
Riau, hal ini terjadi pada tahun 1944. Dan ternyata ladang minyak di Minas ini
adalah sumur minyak terbesar di asia tenggara dan memiliki banyak cadangan
minyak bumi serta jenis minyak yang dihasilkan adalah salah satu jenis terbaik
di dunia, namun hal itu tidak begitu diketahui oleh Dunia, ibarat mutiara yang
sengaja dipendam oleh penemunya agar tidak direbut oleh orang lain. Dengan kondisi
demikian membuat perusahaan asing itu semakin kuat keinginan untuk terus
mencengkram wilayah ini. Pada tahun 2005 sampai sekarang perusahaan yang bernama
Caltex kembali berganti nama menjadi Chevron, di Indonesia chevron memiliki
tiga anak perusahaan yang tak lain tak bukan hanya semata-mata bertujuan untuk
meneruskan dominasinya di Bumi Pertiwi. Ketiga nama dari anak perusahaan
tersebut ialah, PT. Chevron Pasific Indonesia yang beroperasi di Provinsi Riau
(wilayah produksi terbesarnya adalah Minas, Duri, dan Dumai), Chevron Indonesia
Company yang beroperasi dikalimantan, dan Chevron Makasar di Sulawesi. Begitu
dahsyatnya perusahaan asing mengaduk-aduk Bumi Pertiwi, dan bahkan yang paling
tragis adalah meskipun Indonesia terkenal sebagai negara yang memiliki banyak
sumber minyak dan bahkan pernah mendapat nama sebagai negara penghasil minyak dunia
namun hal itu sudah menjadi bualan kosong belaka. Karna pada faktanya Indonesia
saat ini menjadi negara pengimpor minyak bukan pengekspor minyak. Hal ini
disebabkan permainan gurita-gurita asing yang mendominasi negeri ini. Membuat
negara kita menjadi abdi bagi gurita itu, dengan kondisi demikian akan membuat
pemilik perusahaan asing menjadi semakin menggila kekayaannya, lagi-lagi
kapitalisme terus membelit negeri Indah ini. Semoga kedepan kita mampu untuk
lepas dari belitan yang sangat menyesak dada tersebut. Karena banyak
ketidakadilan, perusahaan begitu semakin kaya dan berjaya, tetapi rakyat pribumi
semakin kritis hidupnya, mungkin hanya segelintir orang pribumi saja yang mampu
menikmati kecukupan dan kenyamanan hidup karena adanya perusahaan ini, tetapi
masih banyak lagi orang lain yang menderita, generasi yang akan datang mereka
hanya akan mendapatkan daerah yang kering dengan sedikit produksi.
Selanjutnya saya akan
ceritakan bagaimana kondisi jalan di daerah-daerah ini, selama saya berada di
kawasan Riau pesisir laju kendaraan saya tidak pernah lebih dari 70 km/jam, karena
memang kondisi jalan yang tidak begitu mendukung untuk memacu kendaraan, jalan
dikawasan ini cukup meremukan badan, betapa tidak disepanjang jalan selalu saja
menemukan gelombang-gelombang akibat amblesnya aspal karena sering dilalui
kendaraan yang berkapasitas besar (entah kendaraannya yang terlalu besar dan
berat atau karena adanya sunatan masal terhadap material ketika awal pengerjaan
jalan), dan banyaknya lobang-lobang maut yang siap membuat seseorang terbalik
diatas aspal bila tidak benar-benar hati-hati dalam berkendara, dan lebih
geramnya lagi ketika saya keluar dari kota Pekanbaru menuju ke kawasan Riau
pesisir ini, saya senantiasa selalu saja diikuti oleh pipa-pipa penyalur
minyak, seolah-olah bagaikan ular yang membelit-belit daerah ini. Provinsi Riau
memang sangat lucu, APBD nya gede, sumber daya Alamnya banyak, dan
perusahaan-perusahaan besar juga banyak yang bercokol disini, tapi jalannya
seperti pacuan kuda bahkan lebih bagus pacuan kudanya. Wajarlah kalau ada
kata-kata dari masyarakat yang bunyinya “kalau kita dari Sumatra utara atau
dari Sumatra Barat menuju ke Riau, untuk mengetahui apakah kita sudah sampai
atau belum di Riau caranya sangat gampang, lihat jalannya kalau udah banyak
lobang bearti sudah sampai kita di Riau” sampai seperti itulah yang dikatakan
oleh banyak orang. Lalu bagaimana dengan tanggapan pemerintah terkait dengan
masalah ini, janji dan janji untuk membenahi saja yang diucapkan, dengan jalan
bekerja sama dengan perusahaan-perusahaan besar tapi tak kunjung terealisasi. Rakyat kecil
habis dibodoh-bodohi dengan pemerintah, pemerintah juga habis di kibul-kibuli
oleh perusahaan, dan perusahaanpun tertawa terbahak-bahak karena berhasil
mengeruk banyak keuntungan dari daerah tapi sedikit saja modal untuk melakukan
perbaikan bagi infrastruktur yang ada, serta sedikit saja memberikan bantuan kepada
masyarakat, paling sesekali memberikan bantuan besar itupun jika banyak tekanan
atau dengan maksud dan tujuan agar tidak ada yang menghalangi proyeknya, namun kerusakan
lingkungan yang didapatkan oleh daerah jauh lebih besar dari pada bantuan yang
diberikan. Sangat ironis sekali. Lantas apakah kita akan tetap diam dengan
kondisi yang demikian? ingat anak cucu kita kedepan nanti, bagaimana nasib
mereka bila saat ini daerahnya sudah habis-habisan dijarah oleh
perusahaan-perusahaan asing yang sudah pasti hanya bertujuan untuk memajukan
negaranya saja. Karena biar bagaimanapun rasa nasionalisme pasti sangat kuat
tertancap didalam sanubari para pemilik perusahaan-perusahaan asing itu.
Indonesia, dari sabang sampai merauke telah
dicengkram oleh gurita-gurita asing, terbukti dengan banyaknya nama-nama
perusahaan besar milik asing yang sering kita dengar gaungnya dinegeri ini.
seperti, Exxon Mobil yang beroperasi dipulau jawa, Chevron disumatera, Newmont
di Sulawesi dan Nusa tenggara, dan Freport di Papua. Benar apa yang dikatakan
oleh Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) yakni sofyan wanandi, Indonesia pada dasarnya masih diperdaya asing
meski telah merdeka selama 66 tahun, terutama dalam bidang ekonomi (diberitakan
oleh rimanews, 18/08/2011-20:23). Bukti yang paling mencolok bahwa Indonesia
diperdaya asing kata beliau adalah ditandatanganinya oleh Presiden RI Susilo
Bambang yudhoyono perjanjian di Oslo, Norwegia, pada tahun 2010, yang mewajibkan
Indonesia mengurangi emisi karbon dengan iming-iming hibah sebesar 1 miliar
dolar AS jika berhasil. Akibatnya, dalam setahun perjanjian Oslo, praktis tidak
ada keuntungan apapun yang diperoleh Indonesia, lahan tidur tidak dapat didayagunakan,
padahal sebenarnya bisa menyerap jutaan tenaga kerja. Sebaliknya, Norwegia dan
negara maju lainnya dengan seenaknya memproduksi emisi karbon dalam jumlah yang
besar melalui industri mereka.
Pemerintah negeri ini
telah kehilangan keberanian untuk mengambil keputusan tanpa ketergantungan
kepada pihak asing, mereka telah mengkhianati perjuangan para pahlawan bangsa
yang telah mengorbankan hidup dan mati mereka untuk kemerdekaan bangsa ini.
keadilan dan kesejahteraan rakyat yang menjadi cita-cita bangsa kini telah
jauh, akibat nyali pemerintah yang selalu takut mengambil keputusan layaknya
seperti cecunguk, mereka hanya sibuk cakar-cakaran di Pemerintahan tapi tidak
jelas mau diarahkan kemana bangsa ini. hingga pada akhirnya bangsa ini menjadi
sapi perah bagi Negara-negara kuat karna kepengecutan yang mendera para elite
pengambil kebijakan di negeri ini. Pesan soekarno dulu yang mengatakan, biarkan
sumber daya alam tetap ditempatnya sampai anak cucu kita mampu mengeksplorasi,
sepertinya tidak digubris oleh Pemerintah sekarang. Indonesia seharusnya bisa
memiliki komitmen seperti Venezuela , komitmen untuk lepas dari kolonialisme
dan imperialisme, yang berani melakukan revolusi dari
ekonomi yang sebelumnya didominasi neoliberal.
Wahai para elite Penguasa, segeralah ambil
kebijakan untuk menyelamatkan jutaan nyawa rakyat Indonesia, jangan biarkan
gurita-gurita asing itu mencengkram negeri ini lagi. Karna bila kalian tidak
segera melakukannya maka kalian telah turut serta dalam membunuhi rakyat negeri
ini.
By Setiyono
(Mahasiswa jurusan Planologi, fakultas teknik
UIR)
+ komentar + 1 komentar
Padahal yang jual itu dah sejak orba ..
hahaaa
Posting Komentar