Oleh : Murni Ramli
Ada satu hal yang saya sukai dari ilmuwan di Jepang, yaitu kebiasaannya
untuk tidak menuliskan gelar. Jika ada seminar atau kuliah umum yang
diadakan di kampus, sehebat apapun professor yang akan diundang untuk
berbicara, belum pernah saya melihat ada embel-embel gelar di depan atau
di belakang namanya.Tetapi lain halnya jika yang diundang berbicara
adalah professor dari luar Jepang, maka biasanya dilengkapi dengan embel-embel.
Kehebatan para peneliti di Jepang bukan dilihat dari banyaknya gelar
yang dipunyainya. Saya mengenal beberapa orang professor yang telah
mendalami dan mengikuti program pendidikan dari berbagai major yang
terkait dengan penelitiannya, tetapi namanya tidak semakin panjang
dengan gelar-gelar yang didapatnya.
Di Jepang tidak ada istilah
guru besar. Sehingga para dosen tidak perlu disibukkan dengan mengejar
target ini itu untuk mendapatkan gelar ini.Oleh karenanya saya melihat
mereka lebih enjoy melakukan penelitian apa saja yang diinginkannya.
Seorang asisten professor yang saya kenal di kampus, jika melihat hasil
penelitian dan tulisan-tulisannya yang tersebar di jurnal Jepang dan
internasional, seandainya dia berada di Indonesia, dengan mudahnya deia
akan mendapatkan gelar guru besar. Tetapi tidak dengan di Jepang,
statusnya tetap sebagai asisten professor sekalipun menurut saya dia
layak sekali disebut professor, dan bukan asisten.
Seorang
teman menulis email di sebuah milis, di dalam embel-embel pengirim
dicantumkannya gelar doktor (Dr) di depan namanya. Dia tidak salah
memang, sebab dia berhak atas itu.Tetapi mungkin karena sudah
terpengaruh dengan budaya Jepang, saya merasa jengah membaca email teman
tersebut.
Suatu kali ada seorang penulis yang mengirimkan
tulisan di media ilmiah yang saya asuh bersama teman-teman. Dalam
tulisan tersebut, gelar doktor dicantumkannya. Saya menghapusnya dengan
pertimbangan selama ini kami tidak menampilkan gelar dalam semua artikel
yang kami muat. Ketika revisi kami kirimkan, kembali Pak Doktor
menampilkan gelarnya. Dan saya harus menjalankan aturan majalah,
gelarnya tidak kami cantumkan.
Pernah pula saya mereview dan
mengedit sebuah tulisan yang kemudian saya kirimkan balik kepada
penulisnya dengan mengatakan alur berfikirnya tidak jelas, dan
permasalahan yang diangkat tidak jelas dipaparkan di bagian pendahuluan.
Mungkin tersinggung dengan komentar tersebut, si penulis membalas email
saya dengan menambahkan semua gelar pada namanya. Saya baru tahu beliau
professor di sebuah universitas terkenal. Selanjutnya saya tidak
berminat mereview tulisan beliau.
Saya kadang-kadang malu menuliskan
gelar akademik yang sudah saya miliki. Saya ingat ketika mengurus KTP
di Indonesia, form isian menuntut penulisan gelar. Dan jadilah nama saya
di KTP menjadi agak panjang dengan penambahan dua gelar di belakang,
entahlah kalau tahun depan saya mengurus KTP lagi di Indonesia, nama
saya akan bertambah panjang.
Saya tidak bisa pulang segera di
bulan Maret ini karena meskipun course doktor saya sudah dianggap
tuntas, dua professor tidak mau meneken kertas pengakuan bahwa saya
berhak atas gelar doktor.Katanya, mereka sayang melepas saya jika belum
benar-benar memeriksa bab per bab. Saya memasuki program baru di
fakultas kami, EdD, yang lulusannya bukan bergelar PhD, tetapi DEd.Saya
tak pernah berfikir bahwa keduanya berbeda sebab selama ini saya
melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan mahasiwa program PhD
lainnya. Dan saya tidak peduli dengan gelar apa yang akan diberikan
nanti. Tetapi saya paling peduli ketika dua professor mengatakan bahwa
saya perlu mengikuti pemeriksaan disertasi agar disertasi saya selevel
dengan disertasi program PhD. Sementara professor utama saya sudah
berancang-ancang meneken tanda kelulusan saya di bulan Maret, dengan
alasan saya semestinya dipermudah karena program EdD adalah program
untuk orang yang bekerja dan tidak bisa disepadankan dengan program PhD,
dua orang professor anggota komisi memanggil saya dan membeberkan
alasan mengapa mereka meminta saya mengikuti proses pemeriksaan komisi
selama kurang lebih 5-6 bulan.
Saya katakan kepada kedua
professor, bahwa saya tidak mengharapkan mendapatkan gelar itu jika
memang disertasi dan penelitian saya tidak diakui 100% oleh dewan komisi
dan diterima oleh rapat dosen di fakultas.Saya tidak mau dikategorikan
sebagai orang yang punya penyakit, seperti ditulis oleh Ronald Dore
dalam bukunya “Diploma Disease”, dan memang saya tidak mempunyai
penyakit itu. Saya membutuhkannya karena terdesak kepentingan dan
keharusan memilikinya jika hendak mengabdi kepada ibu pertiwi
Sepulang dari haji, teman mengatakan bahwa gelar saya bertambah di
depan. Saya malu, sebab saya yang tahu layak tidaknya gelar itu
ditempelkan di depan nama saya. Kelak saya juga mungkin malu ketika
gelar DEd mulai disematkan di belakang nama saya, sebab saya yang sangat
tahu, layak tidaknya itu.
Saya ingin mencontoh guru-guru saya
yang dengan ikhlas meneliti dan rela berkorban dana dan tenaga untuk
memperjelas sesuatu yang belum jelas, untuk membuka sesuatu yang belum
terbuka. Saya tahu ada beberapa guru saya di Indonesia yang telah
mengajarkan ilmu yang sangat berharga dan tak henti meneliti, pun tak
menginginkan gelar itu, tetapi masyarakat menuntutnya untuk memakainya.
Karena masyarakat lebih menghormati seseorang dengan melihat gelarnya
dan bukan karyanya.
Memasangkan gelar di depan dan di belakang
nama saya sebagai memaksa saya memakai baju yang saya kurang nyaman
dengan warnanya. Ingin sekali saya melepaskannya segera !
11 Februari 2010
Posting Komentar