Selamat Datang di Website Setiyono

Anda Penjejak Ke:


MEMANFAATKAN DEMOKRASI UNTUK MENEGAKAN SYARIAT ISLAM

Rabu, 19 Desember 20120 komentar




Oleh : Setiyono


Sering terjadi perdebatan yang tidak konstruktif terkait demokrasi dilintas pemikiran para pelaku-pelaku yang berjuang untuk menegakan syariat Islam. Masing-masing mereka senantiasa memiliki kecenderungan dengan apa yang menjadi keyakinan gerakan nya terkait dengan demokrasi. Sehingga hal ini menyebabkan lambatnya mesin pergerakan umat Islam dalam mewujudkan syariat Islam itu sendiri, semuanya hanya akan menjadi mimpi bila kesadaran untuk lebih objektif dalam bersikap antar satu gerakan dengan gerakan lainnya. Seharusnya hal yang paling mendesak untuk segera di lakukan bagi masing-masing gerakan itu adalah komitmen akan visi besar bersama yaitu “menegakan syariat Islam di muka bumi ini” walaupun dalam bingkai yang berbeda, baik itu khilafah, kerajaan, atau negara bangsa, dengan sistem pemerintahannya presidensial hingga monarki.  
Kecenderungan terhadap suatu gerakan adalah hal yang wajar, karena itu merupakan bagian dalam pengasahan konsistensi didalam setiap jiwa-jiwa yang menerjunkan dirinya dalam barisan pergerakan. Akan tetapi, ketika terkait dengan visi besar umat Islam ini maka kecenderungan-kecenderungan itu semaksimal mungkin harus diminimalisir, jangan terlalu lama menyelimuti hingga menjadi egoisme gerakan. Karena realitas saat ini yang dibutuhkan adalah sebuah kerja dengan struktur yang nyata, tahapan-tahapannya jelas, dan capaian juga jelas. Bukan hanya bermain dalam wilayah opini namun miskin kinerja nyata.
#Definisi Demokrasi
Demokrasi dapat diartikan pemerintahan rakyat, dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Sebuah sistem pemerintahan dimana rakyat sebagai pemegang kekuasaan yang dijalankan oleh wakil-wakil rakyat yang dipilih dalam pemilu atau hal semacamnya. Dan karakter yang paling mendasar dari demokrasi ini ialah sebuah kebebasan dalam mengekpresikan baik diri maupun suatu gerakan secara penuh.
Dengan demikian, demokrasi menjadi hal yang penting untuk diperhatikan bagi pegiat gerakan untuk menjadi salah satu cara mewujudkan syariat Islam. Mengapa? Karena sejarah telah banyak mencatat bagaimana kepemimpinan zolim mampu bertahan dalam kurun waktu lama karena telah berhasil menekan demokrasi, hingga banyak gerakan-gerakan yang memperjuangkan kebaikan terkesan lambat bahkan ada yang hanya jalan ditempat. Dalam konteks seperti itu, mempertahankan kran demokrasi dengan sistemnya mengedepankan kebebasan dalam berekpresi yang sudah semakin terbuka di dunia saat ini, jauh lebih penting dan strategis ketimbang harus menjauh dari demokrasi itu sendiri.  Jadikan hal ini sebagai peluang yang tidak akan tersia-siakan, bentuk perspektif positif dalam fikiran yang mengaku hendak berjuang untuk menegakan syariat Islam. Sadarilah bahwa bila sistem demokrasi yang semakin terbuka lebar saat ini tidak dimanfaatkan oleh orang-orang yang senantiasa ingin memperjuangkan kebaikan hakiki, maka hal ini akan sepenuhnya dimanfaatkan oleh orang-orang zalim yang akan menengelamkan kebaikan itu sendiri secara tidak langsung. Karena sesungguhnya akar kerusakan yang menimpa dunia Islam adalah kezaliman, yang lahir dari kursi-kursi pemerintahan.
Tidak perlu memandang secara negatif akan demokrasi itu karena adanya kata “kebebasan”, melainkan yang dibutuhkan adalah sistem, untuk dijadikan sebagai “payung politik” dalam memuluskan tahapan-tahapan perjuangan. Sekali lagi saya tegaskan yang dibutuhkan disini adalah sistem atau hardware, bukan isi. Karena sistem adalah jasad dan ruhnya adalah referensi dan tujuan. Sistem bisa apapun, tetapi referensinya tetap Islam, dan harus Islam. Sehingga berangkat dari kesadaran ini, bagi para pegiat gerakan yang ingin memperjuangkan syariat Islam, tidak perlu harus memiliki kesimpulan bahwa orang-orang yang berjuang untuk menegakan syariat Islam namun tidak memakai sistem Islam, seperti memanfaatkan sistem Demokrasi misalnya, adalah keluar dari Islam ataupun dikatakan sebagai pengikut thagut. Karena sistem dalam menegakan syariat Islam itu tidak baku, melainkan bisa dirubah sesuai dengan kondisi zaman.
Seperti halnya sistem khilafah, semasa Rasulullah hidup sistem ini tidak ada. Sistem khilafah ini dibuat oleh para sahabat untuk menegakan Islam. Dan banyak perangkat saat itu yang diciptakan sendiri oleh para sahabat, diantaranya institusi para pionir muhajirin, institusi 12 wakil anshar, kementerian, majelis syura, majelis sab’in, sistem ekonomi, sistem administrasi, dan militer. Dan bahkan sistem khilafah saat itu banyak terinspirasi dari peradaban lain, misalnya dalam hal manajemen pemerintahan dan kementrian, mereka terinspirasi dari sistem kerajaan Roma. Sedangkan pengelolaan ekonomi dan lembaga penegak keadilan mereka terinspirasi dari sistem Persia, dari raja Anusyirwan yang adil (531-579 M). Akan tetapi mereka tidak pernah sekalipun memakai sistem lain dalam hal prinsip, keyakinan, dan adat peradaban lain. Tetap Islam referensinya. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Dr. Muhammad Al-Ghazali “Islam tidak memberikan bentuk dan teknis tertentu untuk pemerintahan. Tapi Islam hanyalah memberikan nilai moral yang digunakan untuk mengontrol dan nilai-nilai untuk melindungi”. Selain itu masih berkaitan dengan urgensi memanfaatkan sistem dari demokrasi ini, seorang ketua ulama Internasional Dr. Yusuf Al-Qardhawi pernah mengatakan, “kalau saja kita diberi kebebasan selama 20 tahun untuk membina ummat, tanpa gangguan dan tekanan penguasa, maka itu sudah cukup untuk mengembalikan kejayaan ummat Islam kembali”.  
Selanjutnya, ketika negara kursi-kursi pemerintahannya telah diisi oleh orang-orang dari gerakan yang notebene memperjuangkan syariat Islam, maka hal itu akan lebih memudahkan penerapan syariat Islam diatas dunia ini. Walaupun dalam bingkai yang berbeda-beda. Meskipun para pemikir politik Islam mengakui bahwa khilafah adalah bentuk negara yang terbaik, tapi mereka tidak menafikan bentuk-bentuk lain yang pernah ada, yaitu kerajaan, ataupun Presidensial dan monarki. Yang jelas dasar utama dari negara tersebut ialah menerapkan syariat Islam, dan masyarakat negara tersebut telah berupaya melaksanakan perintah Allah dan Rasul-Nya serta menjauhi larangan-larangan-Nya, dan orang-orang yang bukan muslim ikut menikmati betapa nikmatnya syariat Islam itu sehingga secara bertahap mereka tertarik untuk menerima Islam dan masuk Islam. Itu artinya negara tersebut telah menegakan syariat Islam secara kaffah.     
#Perspektif Demokrasi
Dalam perspektif gagasan demokrasi, partisipasi politik masyarakat tidak hanya sebatas pada saat pemilihan umum dan memberikan hak pilihnya. Melainkan meliputi tiga tahap, pertama,  partisipasi dalam tahap input yang berupa dukungan atau tuntutan. Kedua, berpartisipasi pada tahap proses perumusan kebijakan. Dan Ketiga, berpartisipasi pada pelaksanaan kebijakan. Dan langkah yang paling bijak untuk berpartisipasi dalam ketiga hal itu, agar setiap kebijakan yang dihasilkan tidak merugikan umat Islam, maka umat Islam harus menyampaikan segala aspirasinya dalam satu wadah yakni organisasi. Sebagaimana hadist Rasulullah SAW, “barangsiapa diantara kalian melihat kemungkaran hendaklah mengubah dengan tangannya. Jika tidak mampu, hendaklah mengubah dengan lisannya. Jika tidak mampu hendaklah ia mengubah dengan hatinya, dan yang sedemikian itu adalah selemah-lemahnya iman. (HR. Muslim).
Dan kemungkaran yang dimaksud itu bukan hanya sebatas mencegah kemaksiatan, yakni dalam bentuk penyakit sosial saja. Melainkan cakupannya sangat luas, sebagaimana yang dijelaskan oleh Dr. Yusuf Qardhawi “merendahkan harga diri bangsa adalah kemungkaran. Berlaku curang dalam pemilihan umum adalah kemungkaran. Enggan memberikan suara (kesaksian ) dalam pemilihan umum adalah kemungkaran. Menyerahkan urusan kepada orang yang tidak memiliki kompetensi adalah kemungkaran”. Bahkan masih menurut beliau bahwa “mencuri kekayaan negara adalah kemungkaran. Memonopoli barang-barang pokok untuk kepentingan pribadi atau kelompok adalah kemungkaran. Menangkap seseorang yang tidak melakukan kesalahan adalah kemungkaran. Menyiksa orang dalam tahanan atau negara adalah kemungkaran. Memberi dan menerima suap adalah kemungkaran. Menjilat dan memuji pejabat dengan berlebihan adalah kemungkaran. Loyal terhadap musuh Allah dan musuh umat adalah kemungkaran”. Tidak ada cara lain untuk mencegah semua ini, selain dengan kekuasaan yang diraih oleh orang-orang yang berkomitmen dalam jiwanya untuk menegakan syariat Islam di muka bumi ini.
Selanjutnya Miriam Budihardjo dalam bukunya Partisipasi Politik, saya nukil dari buku Cahyadi Takariawan yang berjudul Menyongsong Mihwar Daulah, menjelaskan tentang hal-hal apa saja yang termasuk kedalam demokrasi yang dalam hal ini dari sisi partisipasi politik, dan hal itu ialah, Mendengarkan berita peristiwa politik, Membaca berita politik, Mendiskusikan masalah politik, Melihat kampanye partai politik, Ikut berkampanye untuk partai politik tertentu, Memilih dalam pemilu, Menjadi anggota partai politik, Menjadi pimpinan suatu partai politik.
Artinya, partisipasi politik ialah berbagai aktivitas yang berkaitan dengan proses atau mempengaruhi pembuatan suatu kebijakan untuk kepentingan tertentu, dan proses yang bertujuan untuk meraih kepemimpinan walaupun hanya dalam lingkup Pemilihan Ketua RT, RW dalam wilayah kemasyarakatan, dan ketua-ketua lainnya, maka itu sudah termasuk kedalam partisipasi politik, dan itu adalah bagian dari Demokrasi.
Wallahuallam.
Sumber :
1.      H. M. Anis Matta, 2010. “Dari Gerakan Ke Negara”. Bandung : Fitrah RABBANI
2.      Cahyadi Takariawan, 2010. “Menyongsong Mihwar Daulah”. Solo : PT. E.A. INTERMEDIA
3.      Muhammad Elvandi, 2011. “Inilah Politik Ku”. Solo : PT. E.A. INTERMEDIA
4.      K.H Syaiful Islam Mubarak, 2004. “Piagam Jakarta atau Piagam Madinah?”. Bandung : Syamil Cipta Media
5.      Akbar Kaelola, 2009. “Kamus Istilah Politik Kontemporer”. Yogyakarta : Cakrawala

 
Silahkan share artikel ini : :

Posting Komentar

 
Web ini dikembangkan oleh PUSAT MULTIMEDIA
Template Created by Creating Website Modify by CaraGampang.Com
Proudly powered by Blogger