Oleh : Setiyono
Sering
terjadi perdebatan yang tidak konstruktif terkait demokrasi dilintas pemikiran
para pelaku-pelaku yang berjuang untuk menegakan syariat Islam. Masing-masing
mereka senantiasa memiliki kecenderungan dengan apa yang menjadi keyakinan
gerakan nya terkait dengan demokrasi. Sehingga hal ini menyebabkan lambatnya
mesin pergerakan umat Islam dalam mewujudkan syariat Islam itu sendiri, semuanya
hanya akan menjadi mimpi bila kesadaran untuk lebih objektif dalam bersikap
antar satu gerakan dengan gerakan lainnya. Seharusnya hal yang paling mendesak
untuk segera di lakukan bagi masing-masing gerakan itu adalah komitmen akan
visi besar bersama yaitu “menegakan syariat Islam di muka bumi ini” walaupun
dalam bingkai yang berbeda, baik itu khilafah, kerajaan, atau negara bangsa,
dengan sistem pemerintahannya presidensial hingga monarki.
Kecenderungan
terhadap suatu gerakan adalah hal yang wajar, karena itu merupakan bagian dalam
pengasahan konsistensi didalam setiap jiwa-jiwa yang menerjunkan dirinya dalam
barisan pergerakan. Akan tetapi, ketika terkait dengan visi besar umat Islam
ini maka kecenderungan-kecenderungan itu semaksimal mungkin harus
diminimalisir, jangan terlalu lama menyelimuti hingga menjadi egoisme gerakan.
Karena realitas saat ini yang dibutuhkan adalah sebuah kerja dengan struktur
yang nyata, tahapan-tahapannya jelas, dan capaian juga jelas. Bukan hanya
bermain dalam wilayah opini namun miskin kinerja nyata.
#Definisi Demokrasi
Demokrasi
dapat diartikan pemerintahan rakyat, dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Sebuah sistem pemerintahan dimana rakyat sebagai pemegang kekuasaan yang
dijalankan oleh wakil-wakil rakyat yang dipilih dalam pemilu atau hal
semacamnya. Dan karakter yang paling mendasar dari demokrasi ini ialah sebuah
kebebasan dalam mengekpresikan baik diri maupun suatu gerakan secara penuh.
Dengan
demikian, demokrasi menjadi hal yang penting untuk diperhatikan bagi pegiat gerakan
untuk menjadi salah satu cara mewujudkan syariat Islam. Mengapa? Karena sejarah
telah banyak mencatat bagaimana kepemimpinan zolim mampu bertahan dalam kurun
waktu lama karena telah berhasil menekan demokrasi, hingga banyak
gerakan-gerakan yang memperjuangkan kebaikan terkesan lambat bahkan ada yang
hanya jalan ditempat. Dalam konteks seperti itu, mempertahankan kran demokrasi
dengan sistemnya mengedepankan kebebasan dalam berekpresi yang sudah semakin
terbuka di dunia saat ini, jauh lebih penting dan strategis ketimbang harus
menjauh dari demokrasi itu sendiri. Jadikan
hal ini sebagai peluang yang tidak akan tersia-siakan, bentuk perspektif
positif dalam fikiran yang mengaku hendak berjuang untuk menegakan syariat
Islam. Sadarilah bahwa bila sistem demokrasi yang semakin terbuka lebar saat
ini tidak dimanfaatkan oleh orang-orang yang senantiasa ingin memperjuangkan
kebaikan hakiki, maka hal ini akan sepenuhnya dimanfaatkan oleh orang-orang
zalim yang akan menengelamkan kebaikan itu sendiri secara tidak langsung.
Karena sesungguhnya akar kerusakan yang menimpa dunia Islam adalah kezaliman,
yang lahir dari kursi-kursi pemerintahan.
Tidak
perlu memandang secara negatif akan demokrasi itu karena adanya kata
“kebebasan”, melainkan yang dibutuhkan adalah sistem, untuk dijadikan sebagai
“payung politik” dalam memuluskan tahapan-tahapan perjuangan. Sekali lagi saya
tegaskan yang dibutuhkan disini adalah sistem atau hardware, bukan isi. Karena
sistem adalah jasad dan ruhnya adalah referensi dan tujuan. Sistem bisa apapun,
tetapi referensinya tetap Islam, dan harus Islam. Sehingga berangkat dari
kesadaran ini, bagi para pegiat gerakan yang ingin memperjuangkan syariat
Islam, tidak perlu harus memiliki kesimpulan bahwa orang-orang yang berjuang
untuk menegakan syariat Islam namun tidak memakai sistem Islam, seperti
memanfaatkan sistem Demokrasi misalnya, adalah keluar dari Islam ataupun
dikatakan sebagai pengikut thagut. Karena sistem dalam menegakan syariat Islam
itu tidak baku, melainkan bisa dirubah sesuai dengan kondisi zaman.
Seperti
halnya sistem khilafah, semasa Rasulullah hidup sistem ini tidak ada. Sistem
khilafah ini dibuat oleh para sahabat untuk menegakan Islam. Dan banyak
perangkat saat itu yang diciptakan sendiri oleh para sahabat, diantaranya
institusi para pionir muhajirin, institusi 12 wakil anshar, kementerian,
majelis syura, majelis sab’in, sistem ekonomi, sistem administrasi, dan
militer. Dan bahkan sistem khilafah saat itu banyak terinspirasi dari peradaban
lain, misalnya dalam hal manajemen pemerintahan dan kementrian, mereka terinspirasi
dari sistem kerajaan Roma. Sedangkan pengelolaan ekonomi dan lembaga penegak
keadilan mereka terinspirasi dari sistem Persia, dari raja Anusyirwan yang adil
(531-579 M). Akan tetapi mereka tidak pernah sekalipun memakai sistem lain
dalam hal prinsip, keyakinan, dan adat peradaban lain. Tetap Islam
referensinya. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Dr. Muhammad Al-Ghazali “Islam
tidak memberikan bentuk dan teknis tertentu untuk pemerintahan. Tapi Islam
hanyalah memberikan nilai moral yang digunakan untuk mengontrol dan nilai-nilai
untuk melindungi”. Selain itu masih berkaitan dengan urgensi memanfaatkan
sistem dari demokrasi ini, seorang ketua ulama Internasional Dr. Yusuf Al-Qardhawi
pernah mengatakan, “kalau saja kita diberi kebebasan selama 20 tahun untuk
membina ummat, tanpa gangguan dan tekanan penguasa, maka itu sudah cukup untuk
mengembalikan kejayaan ummat Islam kembali”.
Selanjutnya,
ketika negara kursi-kursi pemerintahannya telah diisi oleh orang-orang dari
gerakan yang notebene memperjuangkan syariat Islam, maka hal itu akan lebih
memudahkan penerapan syariat Islam diatas dunia ini. Walaupun dalam bingkai
yang berbeda-beda. Meskipun para pemikir politik Islam mengakui bahwa khilafah
adalah bentuk negara yang terbaik, tapi mereka tidak menafikan bentuk-bentuk
lain yang pernah ada, yaitu kerajaan, ataupun Presidensial dan monarki. Yang
jelas dasar utama dari negara tersebut ialah menerapkan syariat Islam, dan
masyarakat negara tersebut telah berupaya melaksanakan perintah Allah dan
Rasul-Nya serta menjauhi larangan-larangan-Nya, dan orang-orang yang bukan
muslim ikut menikmati betapa nikmatnya syariat Islam itu sehingga secara
bertahap mereka tertarik untuk menerima Islam dan masuk Islam. Itu artinya
negara tersebut telah menegakan syariat Islam secara kaffah.
#Perspektif Demokrasi
Dalam
perspektif gagasan demokrasi, partisipasi politik masyarakat tidak hanya
sebatas pada saat pemilihan umum dan memberikan hak pilihnya. Melainkan
meliputi tiga tahap, pertama, partisipasi dalam tahap input yang berupa
dukungan atau tuntutan. Kedua,
berpartisipasi pada tahap proses perumusan kebijakan. Dan Ketiga, berpartisipasi pada pelaksanaan kebijakan. Dan langkah yang
paling bijak untuk berpartisipasi dalam ketiga hal itu, agar setiap kebijakan
yang dihasilkan tidak merugikan umat Islam, maka umat Islam harus menyampaikan
segala aspirasinya dalam satu wadah yakni organisasi. Sebagaimana hadist
Rasulullah SAW, “barangsiapa diantara
kalian melihat kemungkaran hendaklah mengubah dengan tangannya. Jika tidak
mampu, hendaklah mengubah dengan lisannya. Jika tidak mampu hendaklah ia
mengubah dengan hatinya, dan yang sedemikian itu adalah selemah-lemahnya iman.
(HR. Muslim).
Dan
kemungkaran yang dimaksud itu bukan hanya sebatas mencegah kemaksiatan, yakni
dalam bentuk penyakit sosial saja. Melainkan cakupannya sangat luas, sebagaimana
yang dijelaskan oleh Dr. Yusuf Qardhawi “merendahkan harga diri bangsa adalah
kemungkaran. Berlaku curang dalam pemilihan umum adalah kemungkaran. Enggan
memberikan suara (kesaksian ) dalam pemilihan umum adalah kemungkaran.
Menyerahkan urusan kepada orang yang tidak memiliki kompetensi adalah
kemungkaran”. Bahkan masih menurut beliau bahwa “mencuri kekayaan negara adalah
kemungkaran. Memonopoli barang-barang pokok untuk kepentingan pribadi atau
kelompok adalah kemungkaran. Menangkap seseorang yang tidak melakukan kesalahan
adalah kemungkaran. Menyiksa orang dalam tahanan atau negara adalah
kemungkaran. Memberi dan menerima suap adalah kemungkaran. Menjilat dan memuji
pejabat dengan berlebihan adalah kemungkaran. Loyal terhadap musuh Allah dan
musuh umat adalah kemungkaran”. Tidak ada cara lain untuk mencegah semua ini,
selain dengan kekuasaan yang diraih oleh orang-orang yang berkomitmen dalam
jiwanya untuk menegakan syariat Islam di muka bumi ini.
Selanjutnya
Miriam Budihardjo dalam bukunya Partisipasi Politik, saya nukil dari buku
Cahyadi Takariawan yang berjudul Menyongsong Mihwar Daulah, menjelaskan tentang
hal-hal apa saja yang termasuk kedalam demokrasi yang dalam hal ini dari sisi
partisipasi politik, dan hal itu ialah, Mendengarkan berita peristiwa politik, Membaca
berita politik, Mendiskusikan masalah politik, Melihat kampanye partai politik,
Ikut berkampanye untuk partai politik tertentu, Memilih dalam pemilu, Menjadi
anggota partai politik, Menjadi pimpinan suatu partai politik.
Artinya,
partisipasi politik ialah berbagai aktivitas yang berkaitan dengan proses atau
mempengaruhi pembuatan suatu kebijakan untuk kepentingan tertentu, dan proses
yang bertujuan untuk meraih kepemimpinan walaupun hanya dalam lingkup Pemilihan
Ketua RT, RW dalam wilayah kemasyarakatan, dan ketua-ketua lainnya, maka itu
sudah termasuk kedalam partisipasi politik, dan itu adalah bagian dari Demokrasi.
Wallahuallam.
Sumber :
1. H.
M. Anis Matta, 2010. “Dari Gerakan Ke Negara”. Bandung : Fitrah RABBANI
2. Cahyadi
Takariawan, 2010. “Menyongsong Mihwar Daulah”. Solo : PT. E.A. INTERMEDIA
3. Muhammad
Elvandi, 2011. “Inilah Politik Ku”. Solo : PT. E.A. INTERMEDIA
4. K.H
Syaiful Islam Mubarak, 2004. “Piagam Jakarta atau Piagam Madinah?”. Bandung :
Syamil Cipta Media
5. Akbar
Kaelola, 2009. “Kamus Istilah Politik Kontemporer”. Yogyakarta : Cakrawala
Posting Komentar